1. SHALAT JAMA’
Adalah melakukan dua macam shalat secara bersama dalam satu waktu, baik dilakukan pada waktu shalat yang pertama maupun pada waktu shalat yang kedua
Praktek shalat jama’ :
* Shalat dhuhur dan ashar yang dilakukan diwaktu dhuhur
* Shalat dhuhur dan ashar yang dilakukan diwaktu ashar
* Shalat maghrib dan isya’ yang dilakukan di waktu maghrib
* Shalat maghrib dan isya’ yang dilakukan di waktu isya’
BAGI MUSAFIR , SHALAT JAMA’ ADALAH RUKHSAH (KERINGANAN)
Artinya : bagi musafir (orang yang sedang dalam perjalanan) diberikan keringanan.
Dia dapat memilih : boleh mengerjakan shalat dengan cara jama’ , boleh juga dengan cara shalat pada waktu masing masing.
Rasulullah saw pernah menjama’ shalat dalam perjalanan dan pernah tidak menjama’nya.
(1) Hadits menjama’ dalam perjalanan
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ، ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا ، فَإِنْ زَاغَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ
Bersumber dari Anas bin Malik r.a, dia berkata : Bahwasanya Rasulullah saw apabila bepergian sebelum matahari tergelincir ( sebelum masuk waktu dhuhur ) , beliau saw menunda shalat dhuhurnya hingga masuk waktu ashar, kemudian beliau saw turun dari kendaraannya dan menjama’ 2 shalat tersebut. Dan apabila beliau saw berangkatnya setelah matahari tergelincir (telah masuk waktu dhuhur) maka beliau saw shalat dhuhur saja kemudian berangkat.
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabu Taqshirish Shalah bab 16 no 1112 ( ini adalah lafadznya )
Muslim Kitabu Shalatil Musaafiriin bab 5 no 704
عَنْ مُعَاذٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ يُصَلِّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا
Bersumber dari Mu’adz r.a dia berkata : Kami keluar bersama dengan Nabi saw dalam perang tabuk.
Maka Nabi saw mengerjakan shalat dhuhur dan ashar dengan cara jama’. Dan antara maghrib dan isya’juga dengan cara jama’.
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabu Shalatil Musaafiriin bab 6 no 706
(2) Hadits tidak menjama’ dalam perjalanan
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ .... فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ التَّرْوِيَةِ تَوَجَّهُوا إِلَى مِنًى فَأَهَلُّوا بِالْحَجِّ وَرَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَصَلَّى بِهَا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ
Bersumber dari Jabir bin Abdullah r.a dia berkata ........... Maka ketika hari tarwiyah (tanggal 8
Dzul Hijjah), para shahabat berangkat menuju ke Mina (bersama dengan Nabi saw) dan berihram untuk haji. Maka Nabi saw mengerjakan shalat disana (di Mina) : dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh.
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabul Haj bab 19 no.1218
عَن أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى الظُّهْرَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّى الْعَصْرَ بِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
Bersumber dari Anas bin Malik r.a , Sesungguhnya Rasulullah saw mengerjakan shalat dhuhur di Madinah 4 raka’at, dan mengerjakan shalat ashar di Dzil Hulaifah 2 raka’at
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabu Shalatil Musaafiriin bab 1 no 690
PENJELASAN :
Rasulullah saw pernah menjama’ shalat dalam perjalanan dan pernah juga tidak menjama’ (shalat pada waktu masing masing)
Hadits hadits tersebut menjelaskan bahwa menjama’ shalat dalam perjalanan adalah rukhshah (keringanan) yang dapat dipilih :
* Seorang Muslim yang berada dalam perjalanan , dia boleh menjama’ shalatnya.
* Seorang Muslim yang berada dalam perjalanan , dia boleh shalat pada waktu masing masing.
2. SHALAT QASHAR
Maknanya : Meringkas shalat yang 4 raka’at menjadi 2 raka’at
* Mengerjakan shalat dhuhur 2 raka’at
* Mengerjakan shalat ashar 2 raka’at
* Mengerjakan shalat isya’ 2 raka’at
Mengqashar shalat dalam perjalanan adalah sunnah yang tetap dari Nabi saw.
Artinya : shalat Qashar selalu dilakukan oleh Nabi saw ketika sedang safar (dalam bepergian ), atau ketika sedang berada di persinggahan dalam safar.
Umat Islam tidak punya pilihan . Ketika berada dalam safar (perjalanan) maka hendaknya dia mengqashar shalatnya , demi mengikuti sunnah Nabi saw. Memilih mengerjakan shalat 4 raka’at dalam perjalanan adalah menyalahi sunnah Nabi saw.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى السَّفَرِ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَصَحِبْتُ أَبَا بَكْرٍ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَصَحِبْتُ عُمَرَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ ثُمَّ صَحِبْتُ عُثْمَانَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَقَدْ قَالَ اللَّهُ (لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ )
Bersumber dari ibnu Umar r.a , dia berkata :
Aku menemani RASULULLAH saw dalam perjalanan,maka beliau saw tidak pernah menambah dalam shalatnya lebih dari 2 raka’at sampai akhirnya Allah swt mewafatkannya.
Dan aku menemani ABU BAKAR r.a dalam perjalanan,maka beliau tidak pernah menambah dalam shalatnya lebih dari 2 raka’at sampai akhirnya Allah swt mewafatkannya.
Dan aku menemani UMAR r.a dalam perjalanan , maka beliau tidak pernah menambah dalam shalatnya lebih dari 2 raka’at sampai akhirnya Allah swt mewafatkannya.
Kemudian aku menemani UTSMAN r.a dalam perjalanan , maka beliau tidak pernah menambah dalam shalatnya lebih dari 2 raka’at sampai akhirnya Allah swt mewafatkannya
Dan Allah swt telah berfirman : SESUNGGUHNYA TELAH ADA PADA DIRI RASULULLAH ITU SURI TAULADAN YANG BAIK BAGIMU ( Al Qur’an surah Al Ahzab : 21 )
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabu Taqshirish Shalah bab 11 no 1102
Muslim Kitabu Shalatil Musaafirin bab 1 no 689 ( ini adalah lafadznya ).
3. MENJAMA’ DAN MENGQASHAR DI PERSINGGAHAN DALAM SAFAR (DI PERSINGGAHAN DALAM PERJALANAN)
Maksudnya : Seseorang melakukan perjalanan , kemudian singgah di perjalanan beberapa hari lamanya.
Misalnya : seorang warga Pontianak melakukan perjalanan ke Jakarta.
Selama dalam perjalanan dari Pontianak ke Jakarta , dia disebut sebagai musafir , yang berlaku atasnya hukum hukum berkaitan dengan musafir (berkaitan puasa , shalat jama’ dan qashar). Ketika sampai di Jakarta dia menetap selama 7 hari. INILAH YANG DISEBUT DENGAN DI PERSINGGAHAN DALAM SAFAR
Apakah selama 7 hari menetap di Jakarta tersebut dia disebut sebagai musafir atau tidak ?
JAWAB :
Dalam pelajaran fiqih , keadaan orang tersebut dinamakan : DIPERSINGGAHAN DALAM SAFAR (di persinggahan dalam perjalanan).
SEORANG MUSLIM YANG BERADA DI PERSINGGAHAN DALAM PERJALANAN KURANG DARI 4 HARI , MAKA UMAT ISLAM SEPAKAT BAHWA KEDUDUKANNYA ADALAH SEBAGAI MUSAFIR.
TETAPI JIKA LEBIH DARI 4 HARI , KEDUDUKANNYA DIPERSELISIHKAN OLEH UMAT ISLAM , APAKAH DIA DISEBUT MUSAFIR ATAU TIDAK ?
1. ADA YANG BERPENDAPAT BAHWA SESEORANG YANG SENGAJA TINGGAL DI PERSINGGAHAN DALAM SAFAR SELAMA 4 HARI ATAU KURANG, MAKA KEDUDUKANNYA ADALAH SEBAGAI MUSAFIR.
TETAPI JIKA LEBIH DARI 4 HARI MAKA KEDUDUKANNYA SUDAH BUKAN MUSAFIR.
Jika dianggap bukan musafir maka dia dilarang mengqashar shalatnya.
Alasannya : Yang disengaja oleh Nabi saw untuk tinggal di Makkkah dengan mengqashar shalat adalah 4 har, Ini adalah pendapat imam Syafi’ i , Imam Ahmad ,imam Malik , dll (Fat-hul Baari)
IMAM NAWAWI BERKATA : ini juga pendapat shahabat Utsman bin Affan r.a , Sa’id bin Al Musayyab , imam Malik dan Abu Tsaur (Al majmu’ Syarah Al Muhadzdzab)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ قَدِمَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - وَأَصْحَابُهُ صَبِيحَةَ رَابِعَةٍ مُهِلِّينَ بِالْحَجّ
Bersumber dari Ibnu Abbas r.a, dia berkata : Nabi saw dan para shahabatnya tiba ( di Makkah ) tanggal 4 di pagi hari ( bulan Dzulhijjah ) dalam keadaan berihram untuk haji
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Haj bab 34 no 1564
فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ التَّرْوِيَةِ تَوَجَّهُوا إِلَى مِنًى فَأَهَلُّوا بِالْحَجِّ وَرَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَصَلَّى بِهَا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ وَالْفَجْرَ
Ketika hari tarwiyah ( tanggal 8 Dzul Hijjah), para shahabat berangkat ke Mina (bersama dengan Nabi saw) dan berihram untuk haji.
Kemudian Rasulullah saw mengendarai tunggangannya, lalu mengerjakan shalat disana (di Mina) : dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh.
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabul Haj bab 19 no 1218 bersumber dari Jabir bin Abdullah r.a
PENJELASAN :
Dalam perjalanan hajinya , Rasulullah tiba di Makkah (dari Madinah) tanggal 4 bulan Dzulhijjah di pagi hari.
Kemudian Nabi saw meninggalkan Makkah menuju Mina tanggal 8 Dzulhijjah (hari Tarwiyah) di pagi hari.
Sehingga total menetap di Makkah adalah 4 hari.
Inilah yang dijadikan dasar oleh IMAM ASY SYAFI’I dan yang sefaham dengan beliau bahwa : jika seorang Muslim menetap di persinggahan dalam safar , maka dia statusnya sebagai musafir adalah 4 hari. Selama 4 hari ini berlaku hukum musafir baginya . Berkaitan dengan puasa (dia boleh berbuka) dan shalat jama’ dan qashar.
Jika lewat dari 4 hari maka kedudukannya sudah berubah , sama seperti orang yang bermuqim di rumahnya sendiri. Tidak ada rukhshah sebagai musafir lagi.
Dia wajib berpuasa Ramadhan dan shalat tamam (sempurna 4 raka’at). Tidak ada lagi qashar shalat.
Imam AHMAD BIN HANBAL berpendapat hampir sama dengan imam Syafi’i .
Beliau berpendapat bahwa seorang yang berada di persinggahan dalam safar maka kedudukannya sebagai musafir adalah selama 21 kali shalat.
Pada shalat yang ke 22 , sudah bukan sebagai musafir lagi.
Didapati riwayat bahwa IMAM MALIK juga berpendapat seperti mam Syafi’i
LIHAT :
* Kitab Fat-hul Baari syarah terhadap Kitab Shahih Al Bukhari jilid 3 halaman 716 Kitabu Taqshirish Shalah bab 1 no 1080
* Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab jilid 4 halaman 171
2. ADA YANG BERPENDAPAT BAHWA SESEORANG YANG SENGAJA TINGGAL DI PERSINGGAHAN DALAM SAFAR KURANG DARI 10 HARI , MAKA KEDUDUKANNYA ADALAH SEBAGAI MUSAFIR.
TETAPI JIKA LEBIH DARI 10 HARI MAKA KEDUDUKANNYA SUDAH BUKAN SEBAGI MUSAFIR LAGI.
Maka dia dilarang mengqashar shalatnya.
Ini adalah pendapat imam Al Hasan bin shalih
LIHAT : Kitab Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab jilid 4 halaman 171
Alasannya : Nabi saw pernah tinggal selama 10 hari di Makkah dengan terus mengqashar shalatnya.
عَن أَنَسٍ يَقُولُ خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - مِنَ الْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ ، فَكَانَ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ . قُلْتُ أَقَمْتُمْ بِمَكَّةَ شَيْئًا قَالَ أَقَمْنَا بِهَا عَشْرًا
Bersumber dari Anas r.a , dia berkata : Kami keluar bersama dengan Nabi saw dari Madinah menuju Makkah. Beliau saw senantiasa mengerjakan shalat 2 raka’at ( qashar ) sampai kami kembali ke Madinah. Aku ( rawi ) bertanya : Apakah kalian bermuqim di Makkah ? Anas r.a menjawab : Kami bermukim selama 10 hari
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabu Taqshirish Shalah bab 1 no1081 (Ini lafadznya)
Muslim Kitabu Shalatil Musaafirin Waqashruha bab 1 no 693
PENJELASAN :
Penetapan 10 hari ini didasarkan kepada lamanya Rasulullah saw menetap di Makkah dan sekitarnya dalam perjalanan hajinya (yaitu total 10 hari). Rasulullah saw tiba di Makkah tanggal 4 Dzulhijjah dan meninggalkan Makkah menuju Madinah tanggal 14 Dzulhijjah.
LIHAT :
* Kitab Fat-hul Baari , Syarah terhadap Kitab Shahih Al Bukhari jilid 10 halaman 26 Kitabul Maghazi bab 53 no 4297
* Kitab Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab jilid 4 halaman 171
RINGKASNYA : Pendapat yang mengatakan bahwa seorang Muslim yang berada di persinggahan dalam safar kedudukannya adalah musafir jika maksimal 10 hari , didasarkan kepada hadits Anas bin Malik r.a berkaitan dengan total keberadaan Nabi saw di Makkah dan sekitarnya pada kegiatan hajinya , yaitu dari tanggal 4 Dzulhijjah sampai tanggal 14 Dzulhijjah.
Setelah itu Rasulullah saw pulang ke Madinah.
3. ADA YANG BERPENDAPAT BAHWA SESEORANG YANG SENGAJA TINGGAL DI PERSINGGAHAN DALAM SAFAR KURANG DARI 12 HARI , MAKA KEDUDUKANNYA ADALAH SEBAGAI MUSAFIR.
TETAPI JIKA LEBIH DARI 12 HARI MAKA KEDUDUKANNYA SUDAH BUKAN SEBAGI MUSAFIR LAGI.
Ini adalah pendapat imam Al Auza’ie dan Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah
LIHAT : Kitab Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab jilid 4 halaman 171
4. ADA YANG BERPENDAPAT BAHWA SESEORANG YANG SENGAJA TINGGAL DI PERSINGGAHAN DALAM SAFAR KURANG DARI 15 HARI , MAKA KEDUDUKANNYA ADALAH SEBAGAI MUSAFIR.
TETAPI JIKA LEBIH DARI 15 HARI MAKA KEDUDUKANNYA SUDAH BUKAN SEBAGI MUSAFIR LAGI.
Ini adalah pendapat Imam Hanafi , Sufyan Ats Tsauri , Al Muzaniy dll
LIHAT : Kitab Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab jilid 4 halaman 171
5. ADA YANG BERPENDAPAT BAHWA SESEORANG YANG SENGAJA TINGGAL DI PERSINGGAHAN DALAM SAFAR KURANG DARI 19 HARI , MAKA KEDUDUKANNYA ADALAH SEBAGAI MUSAFIR.
TETAPI JIKA LEBIH DARI 19 HARI MAKA KEDUDUKANNYA SUDAH BUKAN SEBAGI MUSAFIR LAGI.
Ini adalah pendapat shahabat Ibnu Abbas r.a , Ishaq bin Rahawaih dll yang sefaham dengannya.
Alasannya : Nabi saw pernah tinggal selama 19 hari di Makkah dengan terus mengqashar shalatnya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ أَقَامَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ
Bersumber dari Ibnu Abbas r.a dia berkata : Nabi saw menetap di Makkah selama 19 hari. Beliau saw mengerjakan shalat 2 raka’at (shalat dengan cara qashar)
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Maghazi bab 52 no 4298
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَقَمْنَا مَعَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فِى سَفَرٍ تِسْعَ عَشْرَةَ نَقْصُرُ الصَّلاَةَ . وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَنَحْنُ نَقْصُرُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ تِسْعَ عَشْرَةَ ، فَإِذَا زِدْنَا أَتْمَمْنَا
Bersumber dari Ibnu Abbas r.a dia berkata : Kami menetap bersama dengan Nabi saw dalam suatu perjalanan selama 19 hari dan kami mengqashar shalat.
Maka kami juga mengqashar shalat jika kami menetap selama 19 hari.
Jika lebih dari itu maka kami menyempurnakannya (melakukan shalat secara penuh 4 raka’at)
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Maghaazi bab 53 no 4299 ( ini adalah lafadznya)
Tirmidzi Kitabush Shalah bab 280 no 549
Ibnu Majah Kitabu Iqamatish Shalah bab 76 no 1075
PENJELASAN :
Kejadian Nabi saw menetap di Makkah selama 19 hari dengan mengerjakan shalat secara qashar terus menerus adalah ketika pada pembebasan kota Makkah (FAT-HU MAKKAH).
Berdasarkan hal ini maka shahabat Ibnu Abbas r.a senantiasa memposisikan dirinya sebagai musafir (yaitu mengqashar shalat dll) , jika dia menetap di persinggahan dalam perjalanannya selama 19 hari atau kurang dari itu. Jika lebih dari 19 hari maka dia akan mengerjakan shalat secara sempurna , karena kedudukannya sebagai musafir sudah tidak ada lagi.
6. ADA YANG BERPENDAPAT BAHWA SESEORANG YANG SENGAJA TINGGAL DI PERSINGGAHAN DALAM SAFAR KURANG DARI 6 BULAN , MAKA KEDUDUKANNYA ADALAH SEBAGAI MUSAFIR.
TETAPI JIKA LEBIH DARI 6 BULAN MAKA KEDUDUKANNYA SUDAH BUKAN SEBAGI MUSAFIR LAGI.
عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَقَامَ بِأَذْرَبِيجَانَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ يَقْصُرُ الصَّلَاةَ
Bersumber dari Nafi’ , bahwasanya Ibnu Umar r.a menetap di Adzarbaijan selama 6 bulan.
Dia mengqashar shalat.
Mushannaf Abdurrazzaq dalam Kitab Mushannafnya jilid 2 halaman 352 no 4351
Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani
LIHAT : Kitab Irwa-ul Ghalil jilid 3 halaman 27 no 577
7. ADA YANG BERPENDAPAT BAHWA SESEORANG YANG TINGGAL DI PERSINGGAHAN DALAM SAFAR MAKA KEDUUDKANNYA SELAMANYA ADALAH SEBAGAI MUSAFIR SELAMA DIA BELUM PULANG KE KAMPUNG HALAMANNYA.
Ini adalah pendapat Imam Ibnu Taimiyyah dan sependapat dengannya
Alasannya : Tidak didapati adanya dalil yang secara tegas dan jelas yang membatasi jumlah hari bolehnya mngqashar shalat di persinggahan dalam safar.
Maka keadaannya dikembalikan kepada keumuman firman Allah swt :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu)
Al Qur’an surah ayat An Nisa’ ayat 101
PENJELASAN :
Ayat ini difahami bahwa seorang Muslim yang meninggalkan kampung halamannya tidak dengan tujuan berpindah tempat tinggal , maka di tempat tujuannya kedudukannya adalah sebagai musafir secara terus menerus sebelum dia kembali ke kampung halamannya. Hal ini berlaku dalam waktu yang tidak dibatasi.
KESIMPULAN AKHIR :
Masalah musafir yang singgah di perjalanan adalah masalah yang diperselisihkan , karena tidak didapati hadits yang jelas dan tegas yang membatas jumlah hari yang diperbolehkan
Hadits yang menceritakan perjalanan Nabi saw kemudian menetap di persinggahan , yang paling singkat adalah 4 hari. Yaitu menetap di Makkah dalam perjalanan hajinya.
Hadits yang menceritakan perjalanan Nabi saw kemudian menetap di persinggahan , yang paling lama adalah 19 hari , yaitu : Menetap di Makkah ketika Fat-hu Makkah (penaklukan kota Makkah)
YANG SAYA PILIH :
Saya menguatkan pilihan shahabat Ibnu abbas r.a bahwa :
SEORANG MUSLIM YANG BERADA DI PERSINGGAHAN DALAM SAFAR , MAKA KEDUDUKANNYA SEBAGAI MUSAFIR ADALAH MAKSIMAL 19 HARI.
DIA BOLEH MENGQASHAR SHALAT SELAMA 19 HARI TERSEBUT.
JIKA LEBIH DARI 19 HARI MAKA DIA WAJIB MENGERJAKAN SHALAT SECARA PENUH 4 RAKA’AT , KARENA KEDUDUKANNYA SUDAH BUKAN SEBAGAI MUSAFIR LAGI.
PERINGATAN :
Pembatasan waktu 4 hari , 10 hari , 12 hari , 15 hari , 19 hari , 6 bulan , dan waktu yang tidak terbatas dapat dilakukan jika : Tidak ada kesengajaan (tidak direncanakan) untuk menetap dipersinggahan dalam safar selama waktu waktu tersebut.
Jika sejak awal seseorang sudah merencanakan akan menetap di persinggahan dalam safar selama waktu waktu tersebut , maka hilanglah sebutan sebagai musafir baginya.
Tidak ada shalat qashar baginya.
MISALNYA :
Seorang Muslim akan mengikuti penataran di Jakarta selama 21 hari.
Maka : saya yang menguatkan maksimal 19 hari , berpendirian bahwa sejak dia mendarat di Jakarta maka kedudukannya sudah bukan sebagai musafir lagi.
Sejak hari pertama tidak boleh mengqashar shalatnya.
Tetapi jika penatarannya direncanakan 16 hari , maka selama di Jakarta tersebut hendaknya dia mengqashar shalatnya. Kalau ternyata sampai waktu 16 hari ternyata kegiatan belum selesai dan molor sampai 25 hari , maka shalatnya boleh diqashar selama hari hari tersebut. Bahkan diqashar sampai 25 hari.
Ini adalah pendapat shahabat Ibnu Umar r.a dan Anas bin Malik r.a serta imam Ishaq bin Rahawaih
LIHAT : Kitab Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab jilid 4 halaman 172
Imam Ishaq bin Rahawaih yang membatasi 19 hari kedudukan musafir bagi orang yang singgah dalam perjalanan , ternyata mengqashar shalatnya terus menerus sampai dia kembali ke keluarganya atau sampai di tempat harta bendanya berada (kediamannya).
Hal ini dia lakukan jika dia singgah tanpa ada rencara berapa hari , kemudian dia tertahan oleh keperluan sehingga menetap dalam waktu yang melebihi 19 hari , maka dia tetap mengqashar shalatnya.
Inilah yang saya pilih.
Artinya : Saya tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa qashar di persinggahan dalam perjalanan tidak ada batas waktunya.
Saya memilih pembatasan waktu selama 19 hari.
Tetapi jika tidak ada rencana untuk menetap selama 19 hari atau lebih , maka saya akan mengqashar shalat saya , walaupun akhirnya harus lebih dari 19 hari.
Karena saya dapati riwayat adanya banyak shahabat yang melakukan demikian , diantaranya adalah shahabat Ibnu Umar r.a yang mengqashar shalatnya selama 6 bulan di Adzarbaijan.
Wallahu A’lam.
Oleh : Ustadz Mubarak Abdul Rahim
Oleh : Ustadz Mubarak Abdul Rahim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar