Selasa, 28 Februari 2017

WANITA MENUNAIKAN HAJI TANPA MAHRAM

09.45
Foto : Umroh Jama'ah Al Bayt Pontianak Februari 2017, Lokasi: Madinah
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam
Ada yang melarang dan ada yang membolehkan 

1. YANG MELARANG WANITA BERANGKAT HAJI TANPA MAHRAM
Ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.

IMAM AHMAD BERKATA : Jika seorang wanita tidak mendapatkan suami atau mahram maka dia tidak wajib menunaikan haji.
LIHAT : Kitab Fat-hul Baari , syarah terhadap Kitab Shahih Al Bukhari , jilid 5 halaman 93 Kitabu Jazaaish Shaidi bab 26 no 1862

عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ
Bersumber dari Ibnu Umar r.a , bahwsanya Rasulullah saw bersabda :
Janganlah seorang wanita bepergian seorang diri selama 3 hari kecuali dia bersama mahramnya
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabu Taqshiirish Shalah bab 4 no 1086

PENJELASAN :
Berdasarkan hadits ini maka : wanita mana saja dilarang bepergian seorang diri selama 3 hari tanpa disertai mahramnya. Larangan ini berlaku secara umum , baik bepergian dengan tujuan kunjungan keluarga , umrah dsb. Juga berlaku umum , baik dia pergi sendirian , ataupun rombongan yang mana di dalam rombongan tersebut tidak terdapat mahramnya.
Mahram adalah orang yang haram dinikahi selama lamanya. Jumlahnya ada 13 macam , yang semuanya sudah Allah sebutkan di dalam Al Qur’an :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا 
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian
(Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat 22-24 )

PENJELASAN :
Suami bukan mahram , tetapi dia boleh  menemani wanita tersebut karena adanya aqad nikah.
عَنْ أَبى سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ - رضى الله عنه - وَكَانَ غَزَا مَعَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - ثِنْتَىْ عَشْرَةَ غَزْوَةً قَالَ سَمِعْتُ أَرْبَعًا مِنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَأَعْجَبْنَنِى قَالَ « لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ ، وَلاَ صَوْمَ فِى يَوْمَيْنِ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ، وَلاَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ ، وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى ، وَمَسْجِدِى هَذَا
Bersumber dari Abu Sa’id Al Khudri r.a (dia ikut berperang bersama Nabi saw 12 kali), dia berkata : Aku mendengar 4 hal dari Nabi saw dan aku merasa takjub dengannya :
Janganlah seorang wanita melakukan perjalanan selama 2 hari kecuali dia bersama dengan suaminya atau bersama mahramnya
Dan tidak ada puasa pada 2 hari yaitu Hari Raya Fithri dan Hari Raya Adha
Dan tidak ada shalat setelah shalat shubuh sehingga matahari naik, dan tidak ada shalat setelah ashar sehingga matahari terbenam
Dan tidak dipersiapkan perjalanan ( untuk mencari berkah ) kecuali kepada 3 masjid : Masjidil haram, Masjidil Aqsha dan Masjidku ini ( Masjid Nabawi )
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabush Shaum bab 67 no 1995

PENJELASAN :
Makna hadits ini sama dengan hadits sebelumnya . Yaitu melarang wanita bepergian tanpa disertai mahramnya. Hanya saja dalam hadits ini disebutkan batasannya 2 hari.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ ، وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ » . فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِى جَيْشِ كَذَا وَكَذَا ، وَامْرَأَتِى تُرِيدُ الْحَجَّ . فَقَالَ « اخْرُجْ مَعَهَا
Bersumber dari Ibnu Abbas r.a, dia berkata : janganlah seorang wanita bepergian kecuali disertai mahramnya. Janganlah seorang laki laki masuk kepadanya (menjumpainya) kecuali dia sedang bersama mahramnya. 
Ada seorang laki laki yang bertanya : Wahai Rasulullah, saya pergi dengan pasukan (berperang) ini dan itu sedangkan istri saya ingin berangkat haji.
Maka Rasulullah saw menjawab : Berangkatlah ( haji ) dengannya
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabu Jazaaish Shaidi bab 62 no 1862

PENJELASAN :
Makna hadits ini sama dengan 2 hadits sebelumnya . Yaitu melarang wanita bepergian tanpa disertai mahramnya. Hanya saja dalam hadits ini tidak disebutkan batasan waktunya.
Seorang laki laki yang semestinya ikut berperang , diperintahkan oleh Rasulullah saw meninggalkan peperangan untuk kepentingan tidak membiarkan istrinya menunaikan ibadah haji tanpa suami atau mahram.
HADITS HADITS TERSEBUT SUDAH CUKUP SEBAGAI ALASAN BAHWA : WANITA DILARANG BEPERGIAN TANPA DISERTAI MAHRAMNYA ATAUPUN SUAMINYA , TERMASUK UNTUK MENUNAIKAN HAJI ATAU UMRAH. 
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِى الرِّجَالِ حَدَّثَنَا أَبُو حُمَيْدٍ قَالَ سَمِعْتُ حَجَّاجًا يَقُولُ قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِى مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَوْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى الْمَدِينَةِ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَيْنَ نَزَلْتَ ». قَالَ عَلَى فُلاَنَةٍ . قَالَ « أَغْلَقَتْ عَلَيْكَ بَابَهَا لاَ تَحُجَّنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ 
Bersumber dari Ibnu Abbas r.a bahwasanya dia berkata : Ada seorang laki laki datang ke Madinah . Lalu Nabi saw bertanya kepadanya : engkau singgah di mana ?
Dia berkata : di tempat fulanah (seorang wanita).
Nabi saw bersabda : Apakah dia menutup pintunya bagimu ? 
Nabi saw melanjutkan : “Janganlah seorang wanita menunaikan ibadah haji kecuali bersama dengan mahramnya”.
Hadits riwayat Ad Daraquthni dalam Kitab Sunannya jilid 3 halaman 227 , Kitabul Haj no 2440
IMAM AL HAFIDZ IBNU HAJAR AL ‘ASQALANI BERKATA : hadits ini dinilai shahih oleh Abu ‘Awanah
LIHAT : Kitab Fat-hul Baari , syarah terhadap Kitab Shahih Al Bukhari , jilid 5 halaman 93 Kitabu Jazaaish Shaidi bab 26 no 1862

2) YANG MEMPERBOLEHKAN WANITA MENUNAIKAN HAJI TANPA MAHRAM ASALKAN AMAN DARI FITNAH
Ini adalah pendapat imam Asy Syafi’i , Al Karabisi , Abu Thayyib AthThabari dll.

LIHAT : Kitab Fathul Baari , syarah terhadap Kitab Shahih Al Bukhari jilid 5 halaman 93 Kitabu Jazaaish Shaidi bab (26) Hajjatun Nisaa’ no 1826
Pendapat yang terkenal di dalam pengikut  MADZHAB ASY SYAFI’I  adalah mensyaratkan adanya suami , atau mahram atau wanita wanita yang dipercaya untuk dapat menemaninya.
AL KARABISIY berkata : Wanita boleh bepergian sendirian apabila perjalanannya dijamin keamanannya.
Semua pendapat tersebut khusus untuk bepergian haji dan umrah
ABU THAYYIB ATH THABARI berkata : apabila wanita menunaikan ibadah haji maka dia tidak boleh menunaikannya kecuali bersama dengan mahram , suaminya atau wanita wanita yang terpercaya.
Diantara dalil yang membolehkan wanita bepergian bersama dengan wanita lain yang terpercaya jika ada jaminan keamanan dalam perjalanan adalah hadits pada bab ini yang memuat kesepakatan Umar r.a , Utsman bin Affan r.a , Abdurrahman bin Auf r.a serta para istri Nabi saw dalam masalah ini. Sedangkan shahabat lainnya tidak mengingkari hal ini
DARI SAYA :
Pendapat dalam madzhab Syafi’i dan lainnya membolehkan wanita yang menunaikan haji atau umrah ditemani wanita terpercaya walaupun tanpa mahram , asalkan perjalanannya aman dari fitnah.
Yaitu : wanita tersebut terjamin keselamatan dirinya dan kehormatannya.
Ini bisa dilakukan apabila perjalanannya dilakukan di kawasan yang aman , serta tersedia sarana angkutan yang memadai ,  penginapan yang layak , makanan dan sarana penunjang lainnya.
Dalilnya :
(1)  Riwayat tentang perjalanan haji janda janda dari Rasulullah saw setelah wafatnya tanpa disertai mahramnya.
وَقَالَ لِى أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَذِنَ عُمَرُ - رضى الله عنه - لأَزْوَاجِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فِى آخِرِ حَجَّةٍ حَجَّهَا ، فَبَعَثَ مَعَهُنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ  
Bersumber dari Ibrahim dari ayahnya dari kakeknya bahwa Umar r.a mengidzinkan para istri (janda) Nabi saw (untuk melaksanakan) haji terakhir yang dilaksanakannya.
Maka Umar r.a mengutus Utsman r.a dan Abdurrahman r.a bersama mereka.
Shahih riwayat Al Bukhari Kitabu bab no 1860

PENJELASAN :
Hadits ini bersumber dari Ibrahim bin Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf r.a , dari ayahnya dari kakeknya yaitu IBRAHIM PUTRA  SHAHABAT ABDURRAHMAN BIN AUF R.A.
Para istri Nabi meminta idzin kepada Umar r.a untuk mengerjakan haji pada akhir pemerintahan Umar r.a sebelum dia terbunuh. Semua istri Nabi saw ikut menunaikan haji pada tahun tersebut kecuali Zainab r.a dan Saudah r.a.
Zainab r.a tidak ikut karena telah wafat.
Sedangkan Saudah tidak ikut karena sejak wafatnya Rasulullah saw dia tidak mau keluar dari rumahnya
Ummu Ma’bad Al Khuza’iyah mengatakan bahwa ketika dia masuk ke tenda rombongan istri Nabi saw , jumlahnya ada 8 orang
Riwayat ini dijadikan dalil tentang diperbolehkannya wanita mengerjakan haji tanpa mahram.
LIHAT : Kitab Fathul Baari , syarah terhadap Kitab Shahih Al Bukhari jilid 5 halaman 93 Kitabu Jazaaish Shaidi bab (26) Hajjatun Nisaa’ no 1826

(2) Hadits ‘Adi bin Hatim tentang adanya wanita yang bepergian seorang diri untuk melaksanakan thawaf di Baitullah
عَنْ عَدِىِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الْفَاقَةَ ، ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ ، فَشَكَا قَطْعَ السَّبِيلِ . فَقَالَ « يَا عَدِىُّ هَلْ رَأَيْتَ الْحِيرَةَ » . قُلْتُ لَمْ أَرَهَا وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا . قَالَ « فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيرَةِ ، حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ ، لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ اللَّهَ
قوله الحيرة بالكسر بلد بالعراق
Bersumber dari ‘Ady bin Haatim dia berkata : Ketika kami bersama dengan Nabi saw, tiba tiba datang seorang laki laki kepada Nabi saw yang mengeluhkan tentang kemiskinan
Kemudian datang laki laki lain yang mengeluhkan tentang para perampok.
Maka Rasulullah saw bersabda : Wahai ‘Ady, apakah engkau pernah melihat Al Hiirah ?
Aku menjawab : Aku belum pernah melihatnya , tetapi aku pernah diberitahu tentangnya
Maka Rasulullah saw bersabda : Jika engkau berumur panjang maka engkau akan menyaksikan wanita berkendara (dengan aman) dari Al Hirah sehingga dia melakukan thawaf di Ka’bah. Dia tidak ada rasa takut sedikitpun kecuali kepada Allah
Shahih Al Bukhari Kitabul Manaqib bab 25 no 3595

PENJELASAN :
Al Hirah adalah sebuat tempat di Iraq.
Hadits ini menjelaskan bahwa :  akan ada suatu zaman yang aman , di mana seorang wanita beprgian seorang diri ke Baitullah untuk thawaf , yang mana untuk mewujudkan hal itu , dia harus melakukan perjalanan jauh , dari Iraq ke Makkah yang pada masa itu bisa memakan waktu berminggu minggu lamanya dengan melewati padang pasir. 
Dalam perkataannya tersebut , Rasulullah saw sama sekali tidak mencela atau menyalahkan wanita tersebut. Kisah yang disampaikan oleh Rasulullah tersebut belum terjadi pada saat Rasulullah saw mengucapkannya. Tetapi kejadian wanita yang melakukan perjalanan dari Iraq seorang diri hanya untuk melakukan thawaf di Baitullah PASTI AKAN TERJADI.
Karena perkataan Nabi saw dibimbing oleh wahyu dari Allah swt.
Seakan hal ini mengisyaratkan bahwa : Wanita boleh melakukan ziarah ke Baitullah Al Haram di Makkah seorang diri untuk melakukan thawaf.

DALAM HADITS INI DIISYARATKAN ADANYA PERJALANAN YANG AMAN. Karena kisah seorang wanita yang melakukan perjalanan jauh dari Iraq ke Makkah seorang diri , disampaikan oleh Rasulullah saw sebagai respon atas  pengaduan seorang shahabat tentang keadaan tidak aman yang dialami para shahabat pada zaman awal keislaman.
Maka  khusus untuk perjalanan haji atau umrah , wanita boleh pergi tanpa disertai mahramnya dengan syarat : perjalanannya aman.

Yang di maksud aman adalah aman dalam arti yang seluas luasnya.
Aman dari fitnah.
Aman dari perampokan.
Aman dari gangguan lainnya
Dsb.

KESIMPULAN :
1. Pendapat yang melarang wanita melakukan haji atau umrah tanpa disertai mahram atau suaminya adalah berdasarkan dalil dalil umum tentang larangan wanita melakukan perjalanan seorang diri tanpa mahram.

2. Pendapat yang membolehkan wanita melakukan perjalanan haji atau umrah tanpa disertai mahram adalah berdasarkan dalil khusus yang membolehkan wanita melakukan perjalanan haji atau umrah tanpa mahram atau suami , jika perjalanannya aman dari fitnah. 

3. Pendapat yang membolehkan ini tidak dianggap melanggar larangan dari Rasulullah saw tentang wanita bepergian seorang diri tanpa mahram atau suami. Karena pendapat yang membolehkan berdasarkan dalil yang mengecualikannya , yaitu untuk berziarah ke Baitullah untuk haji atau umrah , dengan syarat perjalanannya aman dari fitnah

YANG SAYA PILIH  : 
Wanita boleh menunaikan haji atau umrah tanpa disertai mahramnya , jika ada jaminan aman dari fitnah , dan lebih dibolehkan lagi jika berangkatnya berombongan .

Wallahu A’lam.                 
Oleh Ustadz Mubarak Abdul Rahim

Rabu, 22 Februari 2017

DENDA KARENA KETERLAMBATAN BAYAR PDAM,TELPON DLL APAKAH TERMASUK RIBA.?

08.58
Foto : Desain Photoshop
JAWAB : Wa alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh.

Pada asalnya, tagihan PLN , PDAM ataupun TELEPON adalah hutang dari pelanggan kepada pihak penyedia jasa tersebut yang harus dibayar pada waktu yang telah ditentukan dan disepakati.
Jika pihak yang berhutang menunda pembayarannya , kemudian pihak yang menghutangi menerapkan denda , maka dhahirnya hal ini tidak berbeda dengan riba’.

Wallahu A’lam.
Oleh :Ustadz Mubarak Abdul Rahim

MEMBANGUN MASJID KARENA ALLAH

08.45
Foto : Umroh Backpaker maret 2016, Lokasi : Masjid Kuba Madinah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺑَﻨَﻰ ﻣَﺴْﺠِﺪًﺍ ﻟِﻠَّﻪِ ﻛَﻤَﻔْﺤَﺺِ ﻗَﻄَﺎﺓٍ ﺃَﻭْ ﺃَﺻْﻐَﺮَ ﺑَﻨَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟَﻪُ ﺑَﻴْﺘًﺎ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ
“Barang yang membangun masjid karena Allah walaupun hanya selubang tempat burung bertelur atau lebih kecil, maka Allah bangunkan baginya (rumah) seperti itu pula di surga.” 
(HR. Ibnu Majah)

Alhafidz Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari, menjelaskan bahwa maksud dari "selubang tempat burung bertelur atau lebih kecil" adalah membangun masjid walaupun dengan cara menambah bagian kecil saja yang dibutuhkan, tambahan tersebut seukuran tempat burung bertelur atau lebih kecil.
Berdasarkan penjelasan Ibnu Hajar maka bisa diambil kesimpulan, jika ada yang menyumbang satu sak semen saja atau bahkan menyumbang satu bata saja, sudah mendapatkan pahala untuk membangun masjid.

diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah dalam Kitab Sunannya , dalam Kitabul Masajid bab (1) Man Banaa Lillahi Masjidan hadits nomor 738 bersumber dari shahabat Jabir bin Abdullah r.a.
Juga diriwayatkan oleh imam Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Shahihnya hadits no 1292 yang dinilai shahih olehnya (oleh imam Ibnu Khuzaimah)

DARI JALUR LAIN  DENGAN SANAD YANG BERBEDA :
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Kitab Musnadnya jilid 1 halaman 241 pada hadits no. 2158 bersumber dari shahabat Ibnu Abbas r.a

Juga imam Ibnu Khuzaimah dalam Kitab shahihnya Kitabush Shalah bab 582 no 1292
Abu Dawud Ath Thayaaliisi dalam Kitab Musnadnya jilid 3 halaman 72 no 2739 
Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab Mushannafnya jilid 3 halaman 88 no 3174 
Al Bazzar dalam kitab Musnadnya 
Ibnu Adiy dalam Al Kamil  
Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar
DLL
dengan sanad yang sama , semuanya dari rawi yang bernama Jabir  Al Ju’fi yang dha’if

TINJAUAN :
Syaikh Al Albani , yang meneliti Kitab sunan Ibni Majah menilainya shahih.
Syaikh Al Arnauth yang meneliti Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal juga menilainya sebagai hadits shahih lighairihi.
Imam Ibnu Khuzaimah menilainya sebagai hadits shahih
Secara umum , hadits ini derajatnya shahih dan bisa dijadikan sebagai rujukan.

KANDUNGAN MAKNA.
Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani berkata :
وَحَمَلَ أَكْثَر الْعُلَمَاءِ ذَلِكَ عَلَى الْمُبَالَغَةِ ؛ لِأَنَّ الْمَكَانَ الَّذِي تَفْحَصُ الْقَطَاة عَنْهُ لِتَضَع فِيهِ بَيْضَهَا وَتَرْقُد عَلَيْهِ لَا يَكْفِي مِقْدَاره لِلصَّلَاةِ فِيهِ . وَيُؤَيِّدُهُ رِوَايَة جَابِر هَذِهِ . وَقِيلَ بَلْ هُوَ عَلَى ظَاهِرِهِ ، وَالْمَعْنَى أَنْ يَزِيدَ فِي مَسْجِدٍ قَدْرًا يُحْتَاجُ إِلَيْهِ تَكُونُ تِلْكَ الزِّيَادَة هَذَا الْقَدْر أَوْ يَشْتَرِكُ جَمَاعَة فِي بِنَاءِ مَسْجِدٍ فَتَقَعُ حِصَّة كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ ذَلِكَ الْقَدْر
Mayoritas ulama berpendapat bahwa kalimat “ walaupun sebesar sarang burung atau lebih kecil lagi” maknanya difahami sebagai kiasan (penekanan = bukan makna sebenarnya) , sebab luas sarang yang dipakai burung untuk menyimpan telur dan tempat tidurnya ,  tidak akan mencukupi untuk dipergunakan buat shalat.
Ada pula yang memahami  sebagaimana makna lahiriahnya , yaitu : apabila seseorang menambahkan sesuatu yang dibutuhkan di masjid maka dia akan mendapatkan pahala sesuai kadar pastisipasinya tersebut.
Atau sekelompok orang bekerja sama membangun masjid, maka pahalanya sesuai dengan kadar partisipasi masing masing.
LIHAT : Kitab Fat-hul Baari, Syarah terhadap Kitab Shahih Al Bukhari  jilid 2 halaman 717 Kitabush Shalah bab 65 pada hadits no 450

DARI SAYA : 
Dari beberapa hadits yang berkaitan dengan membangun masjid , maka saya memahami bahwa :
1. Jika seseorang membangun masjid dari awal sampai akhir , maka dia dijanjikan balasan akhiran yang sangat besar , yaitu akan dibangunkan sebuah rumah di surga.
Kalau rumahnya sudah disiapkan di surga , berarti dia akan memasukinya.
Dengan bahasa yang mudah : dia akan masuk surga.

Jika sekelompok orang bersama sama membangun masjid , maka sekelompok orang tersebut akan dibangunkan sebuah rumah di surga.
Sedangkan pahala yang didapat oleh masing masing dari mereka adalah sesuai dengan partisipasi atau besarnya perjuangannya untuk terwujudnya pembangunan masjid
Jadi : seseorang berpartisipasi membangun masjid , sekecil apapun partisipasinya , maka dia akan mendapatkan bagian pahalanya di sisi Allah swt sesuai dengan kadar partisipasinya.

TETAPI MAKNANYA BUKAN MENDAPAT BALASAN MEMBANGUN SEBUAH MASJID WALAUPUN HANYA MENYUMBANG 1 SAK SEMEN.
Kalau seseorang memudahkan perizinannya , atau menyumbang semen 1 sak semen, atau membantu mengaduk semennya , atau ikut merancang ini dan itu dsb , maka dia akan mendapatkan balasan di sisi Allah sesuai dengan partisipasinya tersebut.
Tetapi hal ini jangan diremehkan . Sebab , balasan membangun masjid adalah surga.
Maka sekecil apapun patisipasi seseorang dalam pembangunan masjid , maka dia mendapatkan janji masuk surga. Kapan masuknya ?  Ini adalah urusan Allah.
Barangkali ,  semakin besar kontribusi kita dalam pembangunan masjid , maka semakin besar dan semakin cepat kita masuk surga.
Maka berlomba lombalah untuk memperbesar kontribusi dalam pembangunan masjid.

Wallahu A’lam.
Oleh : Ustadz Mubarak Abdul Rahim

Senin, 20 Februari 2017

DUDUK TAWARRUK DAN IFTIRASY

13.26
Foto : Google
Iftirasy :  Duduk seperti tahiyyat awal. Yaitu menghamparkan kaki kiri di bumi,
kemudian duduk diatas hamparan kaki kiri tersebut, sedangkan kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari menghadap ke Qiblat.

Tawarruk :  Duduk seperti tahiyyat akhir. Yaitu memasukkan kaki kiri di bawah 
betis kaki kanan , kemudian duduk (miring) di atas bumi , sedangkan kaki kanan ditegakkan menghadap ke arah Qiblat.

Duduk tahiyyat dalam shalat adalah masalah yang diperselisihkan oleh umat Islam.
Ringkasannya :
A).  IMAM HANAFI : semua duduk tahiyyat dalam shalat dilakukan dengan cara iftirasy , baik itu tahiyyat awal maupun tahiyyat akhir

B) IMAM MALIK   : Semua duduk tahiyyat dalam shalat dilakukan dengan cara tawarruk , baik itu tahiyyat awal maupun tahiyyat akhir.

C) IMAM SYAFI’I : Pada tahiyyat awal , duduknya adalah dengan cara iftirasy , sedangkan pada tahiyyat akhir adalah dengan cara tawarruk.

D) IMAM AHMAD (HANBALI) : Pada tahiyyat awal , duduknya adalah dengan cara iftirasy , sedangkan pada tahiyyat akhir adalah dengan cara tawarruk ( sama dengan pendapat imam Syafi’i).

Imam Syafi’I dan imam Ahmad bin Hanbal memiliki kesamaan pendapat , yaitu pada tahiyyat awal duduknya dengan cara iftirasy , sedangkan pada tahiyyat akhir duduknya dengan cara tawarruk. Hal ini didasarkan kepada hadits hadits yang shahih tentang adanya duduk iftirasy dan duduk tawarruk dalam shalat.

TETAPI    :
Ketika duduk tasyahhud dalam shalat shubuh atau shalat lainnya yang hanya ada satu tahiyyat , maka imam Syafi’i dan imam Ahmad berbeda pendapat :

A) IMAM AHMAD : MELAKUKANNYA DENGAN CARA IFTIRASY : 
Yaitu menghamparkan kaki kiri di bumi  kemudian kita duduk di atas kaki kiri tersebut. Sedangkan kaki kanan ditegakkan dengan ujung jari kaki menghadap ke arah Qiblat.
Cara seperti ini sama dengan duduk antara 2 sujud atau duduk pada tahiyyat awal.

IMAM AHMAD BERPENDAPAT BAHWA : CARA DUDUK PADA TAHIYYAT AWAL DAN TAHIYYAT AKHIR TERKADANG  BERBEDA DAN TERKADANG SAMA 

B) IMAM SYAFI’I :  MELAKUKANNYA DENGAN CARA TAWARRUK : 
Yaitu menghamparkan kaki kiri sedemikian rupa sehingga berada di bawah betis kanan dan paha kanan. Kemudian kaki kanan ditegakkan , lalu duduk di atas bumi ( pantatnya menempel ke bumi ) dan ujung jari kaki kanan diarahkan ke Qiblat
Cara seperti ini sama dengan duduk pada tahiyyat akhir.

IMAM SYAFI’I BERPENDAPAT BAHWA : CARA DUDUK PADA TAHIYYAT AWAL DAN TAHIYYAT AKHIR ADALAH BERBEDA DALAM SEMUA SHALAT
LIHAT : Kitab Syarah Muslim oleh Imam Nawawi jilid 4 halaman 437 hadits no 498

CABANG PERMASALAHAN : 
Jika imam dalam shalat menguatkan pendapat imam Ahmad bin Hanbal , yaitu duduk tahiyyatnya dengan cara iftirasy dalam shalat shubuh , apakah makmum wajib mengikuti imamnya ?

JAWAB :
Sebagaimana disampaikan pada pembahasan sebelumnya  bahwa : duduk tahiyyat dalam shalat adalah masalah yang diperselisihkan oleh umat Islam.
Maka seseorang yang sudah menguatkan ijtihad salah seorang ulama yang dipercayainya dan dia sudah sangat yaqin akan kebenaran pilihannya , maka hendaknya dia berpegang dengan pilihannya tersebut , tidak terikat harus sama dengan imamnya.

GAMBARANNYA : 
*  Jika imamnya duduk tahiyyat dengan cara iftirasy , padahal kita yaqin duduknya harus dengan cara tawarruk , maka kita mesti duduk dengan cara tawarruk , meskipun berbeda dengan imamnya.
*  Jika imamnya duduk tahiyyat dengan cara tawarruk , padahal kita yaqin duduknya harus dengan cara iftirasy , maka kita mesti duduk dengan cara iftirasy , meskipun berbeda dengan imamnya.

SOAL   
Apakah hal ini tidak menyalahi larangan dari Nabi saw tentang tidak bolehnya makmum menyelisihi (berbeda) dengan imamnya ?
JAWAB :   Tidak.
Supaya menjadi jelas , akan saya uraikan masalah ini dengan rinci :
APAKAH MAKMUM HARUS MENGIKUTI SEMUA PERBUATAN IMAM DALAM SEGALA KEADAAN ?
JAWAB  :    TIDAK.
Yang diperintahkan kepada makmum untuk mengikuti imam adalah dalam 5 hal :
Apabila imam bertakbir maka makmum harus bertakbir.
Apabila imam ruku’ maka makmum harus ruku’.
Apabila imam bangkit dari ruku’ mengucap sami’allahu liman hamidah maka makmum harus bangkit juga dari ruku’ dan menjawabnya dengan : Rabbanaa lakal hamdu atau Rabbanaa wa lakal hamdu atau Allahumma Rabbanaa lakal hamdu atau Allahumma Rabbanaa wa lakal hamdu.
Apabila imam sujud maka makmum harus sujud.
Apabila imam duduk maka makmum harus duduk.

Maksudnya :
* JIKA IMAMNYA BERTAKBIR MAKA SEMUA MAKMUMNYA HARUS BERTAKBIR, TAPI SIFAT ATAU CARA BERTAKBIRNYA TIDAK HARUS SAMA DENGAN IMAMNYA .
Kata “bertakbir” maksudnya adalah : takbiratul ihram.
Artinya : Jika imamnya mengucap takbiratul ihram pandangannya mengarah ke atas maka makmumnya tidak wajib mengikuti cara imam yang salah tersebut, karena Nabi saw melarang shalat dengan memandang ke atas. 

* JIKA IMAMNYA RUKU’ MAKA  SEMUA MAKMUM HARUS RUKU’. TETAPI SIFAT ATAU CARA RUKU’NYA TIDAK HARUS SAMA DENGAN IMAMNYA.
Artinya : jika imamnya ketika ruku’ tidak meletakkan tangan di lutut , maka makmumnya tidak wajib mengikuti cara ruku’ yang salah dari imamnya tersebut. 
Makmum juga tidak diwajibkan membaca bacaan ruku’ seperti bacaan imamnya.

* JIKA IMAMNYA BANGKIT BERDIRI DARI RUKU’ , MAKA SEMUA MAKMUM HARUS BANGKIT BERDIRI DARI RUKU’. TETAPI SIFAT ATAU CARA BERDIRINYA TIDAK HARUS SAMA DENGAN IMAMNYA.
Artinya : Jika imamnya ketika bangkit berdiri mengangkat tangan tinggi tinggi serta memandang ke atas , maka makmumnya tidak wajib mengikuti cara berdiri imam yang salah tersebut. 

* JIKA IMAMNYA SUJUD , MAKA MAKMUM HARUS SUJUD, TETAPI SIFAT ATAU CARA SUJUDNYA TIDAK MESTI SAMA DENGAN IMAMNYA.
Artinya : jika imamnya sujud dengan tidak meletakkan hidungnya di bumi , maka makmum tidak wajib mengikuti cara sujud yang salah dari imamnya tersebut.
Makmum juga tidak diwajibkan membaca bacaan sujud seperti bacaan imamnya.

* JIKA IMAMNYA DUDUK , MAKA SEMUA MAKMUMNYA HARUS DUDUK , TETAPI SIFAT DUDUKNYA TIDAK HARUS SAMA DENGAN IMAMNYA.
Artinya : jika imamnya duduk tahiyyat akhir dengan cara iftirasy , maka makmumnya tidak wajib mengikuti cara duduk dari imamnya tersebut.
Jika imamnya batuk , makmum tidak perlu ikut batuk mengikuti imamnya.
Jika imamnya bersin , makmum tidak perlu ikut bersin bersama sama.
Jika imamnya menggaruk badannya , makmum tidak perlu ikut menggaruk badannya.
Jika imamnya banyak menggoyangkan tubuh ketika berdiri , maka makmum tidak perlu mengikutinya.
Demikian seterusnya.
Dalilnya :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّمَا الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ. فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ. وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
Bersumber dari Abu Hurairah r.a dia berkata : Nabi saw bersabda :
Sesungguhnya imam itu tidak lain adalah untuk diikuti. Maka janganlah kalian menyelisihinya
Apabila imam bertakbir , hendaknya kalian bertakbir.
Apabila imam ruku’ , maka hendaknya kalian ruku’.
Apabila imam mengucapkan “sami’ Allahu liman hamidah , maka hendaknya kalian menjawab : Allahumma Rabbanaa lakal hamdu
Apabila imam sujud , maka hendaknya kalian sujud.
Apabila imam shalat dengan duduk , maka hendaknya kalian semuanya shalat dengan duduk.
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Adzan bab 74 no 722
Muslim Kitabush Shalah bab 19 no 414 (ini adalah lafadznya).

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَالَ خَرَّ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنْ فَرَسٍ فَجُحِشَ فَصَلَّى لَنَا قَاعِدًا فَصَلَّيْنَا مَعَهُ قُعُودًا ، ثُمَّ انْصَرَفَ فَقَالَ « إِنَّمَا الإِمَامُ - أَوْ إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ - لِيُؤْتَمَّ بِهِ ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا ، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ . وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا
Bersumber dari Anas bin Malik r.a , sesungguhnya dia berkata :
Rasulullah saw terjatuh dari kuda dan beliau saw terluka.
Lalu Nabi saw melakukan shalat menjadi imam bagi kami dengan cara duduk, maka kami juga melakukan shalat bersamanya dengan duduk.
Ketika selesai dari shalatnya , Nabi saw bersabda : 
Sesungguhnya , tidaklah imam itu – atau : tidaklah seseorang dijadikan imam  – melainkan untuk diikuti. 
Maka jika imam bertakbir hendaknya kalian bertakbir.
Jika imam ruku’ , hendaknya kalian ruku’.
Jika imam bangkit dari ruku’, hendaknya kalian bangkit dari ruku’.
JIka imamnya mengucapkan “sami’allahu liman hamidah” maka hendaknya kalian mengucapkan “ Rabbanaa lakal hamdu “.
Jika imam sujud , hendaknya kalian sujud.
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Adzan bab 82 no 733.
PENJELASAN :
Dalam hadits hadits yang membicarakan kewajiban makmum untuk mengikuti imam , didapati penjelasan langsung dari Nabi saw tentang perkara yang wajib diikuti oleh makmum dari imamnya , yaitu :
Takbiratul Ihram.
Ruku’
Bangkit dari ruku’ (I’tidal)
Sujud
Duduk
Maka saya memahami bahwa perbuatan imam di dalam shalat yang wajib diikuti oleh makmumnya adalah perkara yang dhahir (= nampak atau diketahui ) oleh makmumnya , dan itupun dibatasi hanya pada 5 tempat tersebut. Sedangkan sifat perbuatan yang 5 tersebut juga tidak harus sama dengan imamnya.
Selain itu , perbuatan imam yang tidak diketahui oleh makmumnya , juga tidak wajib diikuti oleh makmumnya

Misalnya : bacaan dalam sujud , maka yang dibaca oleh imam tidak harus diikuti oleh makmumnya. Artinya : makmum boleh membaca bacaan dalam shalat yang berbeda dengan bacaan imamnya, asalkan bacaan tersebut adalah bacaan yang diajarkan oleh Nabi saw.
Wallahu A’lam.

KESIMPULAN AKHIR :
1. Jika penanya yaqin dengan ijtihad imam Syafi’i yaitu duduk tawarruk dalam shalat shubuh , maka hendaknya dia duduk dengan cara tawarruk walaupun imamnya duduk dengan cara iftirasy. Demikian juga sebaliknya.

2. Hukum ini juga berlaku kepada makmum masbuq (yang terlambat). Ketika imam duduk tawarruk pada tahiyyat akhir , maka makmum masbuq tidak dibenarkan duduk dengan cara tawarruk. Dia mesti duduk dengan cara iftirasy , karena tawarruk hanya untuk tahiyyat akhir. Sedangkan makmum masbuq belum berada pad atahiyyat akhir. Dia masih harus berdiri lagi untuk menyempurnakan kekurangan raka’atnya. 
Wallahu A’lam.
Oleh : Ustadz Mubarak Abdul Rahim

Minggu, 19 Februari 2017

SHALAT SUNNAH RAWATIB.

10.57
SHALAT SUNNAH RAWATIB ADALAH SHALAT SUNNAH YANG DILAKUKAN BERKAITAN DENGAN SHALAT FARDHU , BAIK DILAKUKAN SEBELUMNYA (QABLIYAH) ATAUPUN SETELAHNYA (BA’DIYAH).
Jumlah totalnya 18 atau 20 raka’at sehari semalam.
Dibagi menjadi 2 kelompok besar :

1. YANG SUNNAH MUAKKAD    : (sangat ditekankan untuk diamalkan, bahkan jika terlewat, boleh dikerjakan di waktu lainnya.  Misalnya : shalat 2 raka’at ba’da dhuhur boleh dikerjakan setelah ashar karena ba’da dhuhur  sibuk menerima tamu).

Shalat sunnah rawatib yang muakkad jumlahnya 10 atau 12 raka’at. 
* 2 raka’at sebelum shalat shubuh.
* 2 raka’at atau 4 raka’at sebelum shalat dhuhur.
* 2 raka’at setelah dhuhur
* 2 raka’at setelah shalat maghrib.
* 2 raka’at setelah shalat isya’.

SUMBER RUJUKAN
(1) JUMLAHNYA 10 RAKA’AT
عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ حَفِظْتُ مِنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِى بَيْتِهِ ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِى بَيْتِهِ ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ
Dari Ibnu Umar r.a dia berkata : Aku hafal (shalat sunnah) dari Nabi saw sebanyak 10 raka’at , yaitu : 
-  2 raka’at sebelum dhuhur
- 2 raka’at setelah dhuhur
- 2 raka’at setelah maghrib di rumahnya
- 2 raka’at setelah isya’ di rumahnya
- 2 raka’at sebelum shalat shubuh
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabut Tahajjud bab 34 no 1180

(2) JUMLAHNYA 12 RAKA’AT
عَنْ عَنْبَسَةَ بْنِ أَبِى سُفْيَانَ عَنْ أُمِّ حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهَا قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّى لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ
Bersumber dari Ummu Habibah r.a , istri Nabi saw , bahwasanya dia berkata : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda : Tidaklah seorang Muslim mengerjakan shalat karena Allah setiap harinya 12 raka’at sebagai shalat tambahan (shalat sunnah) selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga , atau dibangunkan baginya sebuah rumah di surga.
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabu Shalatil Musafirin bab 15 no 728

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ ثَابَرَ عَلَى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ
قال الشيخ الألباني : صحيح
Bersumber dari Aisyah r.a dari Nabi saw yang bersabda : Barangsiapa yang mengerjakan 12 raka’at secara terus menerus (kontinyu)  maka Allah Azza Wajalla membangunkan baginya rumah di surga , yaitu :
- 4 raka’at sebelum dhuhur
- 2 raka’at setelah dhuhur
- 2 raka’at setelah maghrib
- 2 raka’at setelah isya’
- 2 raka’at sebelum fajar ( sebelum shalat shubuh)
Hadits shahih riwayat Nasai Kitabu Qiyamil Laili bab 66 no 1795

PENJELASAN :
Shalat sunnah rawatib yang muakkad jumlahnya adalah 10 atau 12 raka’at dalam sehari semalam.
Riwayat yang 10 ataupun yang 12 raka’at sama sama shahih.
Perbedaan jumlah raka’at tersebut terletak pada : jumlah shalat sunnah qabliyah dhuhur, apakah 2 raka’at atau 4 raka’at.
Jika qabliyah dhuhur 2 raka’at maka jumlahnya menjadi 10 raka’at sehari semalam.
Jika qabliyah dhuhur 4 raka’at maka jumlahnya menjadi 12 raka’at sehari semalam.

HANYA SAJA , DIDAPATI HADITS LAINNYA YANG MENDUKUNG RIWAYAT YANG 12 RAKA’AT :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا لَمْ يُصَلِّ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ صَلاَّهُنَّ بَعْدَهُ. 
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
قال الشيخ الألباني : حسن
Bersumber dari Aisyah r.a , bahwasanya Nabi saw apabila tidak (sempat) mengerjakan 4 raka’at sebelum dhuhur , maka beliau saw mengerjakannya setelah dhuhur. 
Hadits riwayat Tirmidzi Kitabush Shalah bab 205 no 426

Imam Tirmidzi dan syaikh Al Albani menilainya sebagai hadits hasan 
عَنْ عَنْبَسَةَ بْنِ أَبِى سُفْيَانَ قَالَ سَمِعْتُ أُخْتِى أُمَّ حَبِيبَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
قال الشيخ الألباني : صحيح
Bersumber dari Ummu Habibah r.a istri Nabi saw berkata : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda : Barangsiapa yang menjaga 4 raka’at sebelum dhuhur dan 4 raka’at setelahnya maka Allah mengharamkan neraka baginya.
Hadits shahih riwayat Abu Dawud Kitabut Tathawwu’ bab 7 no 1269 (ini adalah lafadznya)
Tirmidzi Kitabush Shalah bab 205 no 428
Nasai Kitabu Qiyamil Laili bab 67 no 1816 

IMAM AL HAFIDZ IBNU HAJAR AL ‘ASQALANI BERKATA  (tentang 2 raka’at atau 4 raka’at sebelum dhuhur ) :
Pendapat yang lebih utama adalah memahami kedua hadits itu dalam 2 kondisi yaitu : terkadang Nabi saw mengerjakan 2 raka’at dan pada waktu lainnya Nabi saw mengerjakannya 4 raka’at.

Ada pula yang mengatakan bahwa : Rasulullah saw mengerjakan di rumah 2 raka’at kemudian keluar ke masjid dan mengerjakan lagi 2 raka’at. Ibnu Umar r.a melihat yang 2 raka’at di masjid dan tidak melihat yang 2 raka’at di rumah. Sedangkan Aisyah r.a melihat keduanya di rumah sebanyak 4 raka’at.

Tetapi pendapat pertama lebih kuat (yaitu terkadang Nabi saw mengerjakan 2 raka’at dan pada waktu lainnya Nabi saw mengerjakannya 4 raka’at)., karena didukung oleh hadits lainnya yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Abu Dawud :
 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ تَطَوُّعِهِ فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّى فِى بَيْتِى قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا ثُمَّ يَخْرُجُ فَيُصَلِّى بِالنَّاسِ 
تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده صحيح على شرط مسلم
Bersumber dari Abdullah bin Syaqiiq dia berkata : Aku bertanya kepada Aisyah r.a tentang shalat sunnahnya Rasulullah saw , maka Aisyah r.a berkata : Bahwa Nabi saw biasa mengerjakan shalat 4 RAKA’AT SEBELUM DHUHUR DI RUMAHKU kemudian  keluar dan mengerjakan shalat berjama’ah dengan orang banyak ......
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabu Shalatil Musafirin bab 16 no 730 (ini adalah lafadznya)Ahmad 6/30

ABU JA’FAR ATH THABARI BERKATA : 4 raka’at adalah yang sering dilakukan oleh Nabi saw , sedangkan 2 raka’at hanya sesekali dilakukannya.
LIHAT :   Kitab Fat-hul Baari , syarah terhadap Kitab Shahih Al Bukhari jilid 4 halaman 75 Kitabut Tahajjud bab 34 hadits no 1180

2. YANG GHAIRU MUAKKAD   :   (anjuran biasa , tidak seperti sunnah muakkad).

Shalat sunnah rawatib yang ghairu muakkad jumlahnya ada 8 raka’at
*  2 raka’at setelah 2 raka’at setelah dhuhur (sehingga ba’diyah dhuhur jadi 4 raka’at)
*  4 raka’at sebelum shalat ashar.
*  2 raka’at sebelum maghrib.  

SUMBER RUJUKAN :
(1) TAMBAHAN 2 RAKA’AT SETELAH 2 RAKA’AT BA’DA DHUHUR.
عَنْ عَنْبَسَةَ بْنِ أَبِى سُفْيَانَ قَالَ سَمِعْتُ أُخْتِى أُمَّ حَبِيبَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
قال الشيخ الألباني : صحيح
Bersumber dari Ummu Habibah r.a istri Nabi saw berkata : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda : Barangsiapa yang menjaga 4 raka’at sebelum dhuhur dan 4 raka’at setelahnya maka Allah mengharamkan neraka baginya.
Hadits shahih riwayat Abu Dawud Kitabut Tathawwu’ bab 7 no 1269 (ini adalah lafadznya)
Tirmidzi Kitabush Shalah bab 205 no 428
Nasai Kitabu Qiyamil Laili bab 67 no 1816 

PENJELASAN :
Kalimat “4 raka’at setelah dhuhur” maknanya : 2 raka’at yang muakkad dan ditambah lagi 2 raka’at yang ghairu muakkad

(2) EMPAT RAKA’AT SEBELUM SHALAT ASHAR
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا
قال أبو عيسى هذا حديث غريب حسن 
قال الشيخ الألباني : حسن
تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده حسن
Bersumber dari Ibnu Umar r.a dia berkata : Rasulullah saw bersabda : Semoga Allah mencucurkan rahmat-Nya kepada seseorang yang mengerjakan shalat 4 raka’at sebelum ashar.
Hadits hasan riwayat Abu Dawud Kitabut Tathawwu’ bab 8 no 1271 (ini adalah lafadznya)
Tirmidzi Kitabush Shalah bab 206 no 430
Nasai Kitabul Imamah bab 65 no 874

(3) DUA RAKA’AT SEBELUM SHALAT MAGHRIB
عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ قَالَ حَدَّثَنِى عَبْدُ اللَّهِ الْمُزَنِىُّ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ » . - قَالَ فِى الثَّالِثَةِ - لِمَنْ شَاءَ 
Bersumber dari Ibnu Buraidah dia berkata : telah mengkhabarkan kepadaku Abdullah Al Muzani r.a dari Nabi saw yang bersabda : Shalatlah kalian sebelum shalat maghrib (3x).
Dan pada ketiga kalinya , Nabi saw bersabda : bagi siapa yang mau.
Hadits shahih  riwayat Al Bukhari Kitabut Tahajjud bab (35) Ash Shalaatu Qablal Maghrib no 1183 ( ini adalah lafadznya ).
Abu Dawud Kitabut Tathawwu’ bab (11) ash shalaatu qablal maghrib no 1281.

PENJELASAN : 
Hadits ini adalah dalil yang sangat jelas dan terang , bahwa Rasulullah saw sendiri yang memerintahkan shalat sunnah sebelum maghrib. 
Kalimat “sebelum maghrib” maknanya : setelah adzan maghrib dan sebelum iqamah.
Makna ini harus diambil karena :

1. Kalau diartikan sebelum adzan maghrib , maka terbentur dengan larangan dari Nabi saw , yaitu tidak boleh mengerjakan shalat sunnah setelah shalat ashar sampai matahari terbenam. Maka kalau seseorang shalat sunnah sebelum adzan maghrib , berarti dia telah melanggar larangan dari Nabi saw.

2. Kalau diartikan bahwa salatnya ketika adzan maghrib dikumandangkan , maka hal ini sulit diterima. Karena adanya perintah dari Nabi saw untuk mendengar adzan dan sekaligus menjawabnya serta berdo’a setelahnya.
قَالَ أَبُو عِيسَى : وَقَدْ رُوِىَ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ
وَقَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ إِنْ صَلاَّهُمَا فَحَسَنٌ. وَهَذَا عِنْدَهُمَا عَلَى الاِسْتِحْبَابِ
Abu Isa (imam Tirmidzi) berkata : Telah diriwayatkan tidak hanya dari seorang shahabat Nabi saw, bahwa mereka melakukan shalat 2 raka’at sebelum shalat maghrib yaitu antara adzan dan iqamat. 
Imam Ahmad dan Ishaq berkata : Jika seseorang mengerjakannya maka hal itu merupakan perkara yang baik.
Menurut kedua imam itu, shalat 2 raka’at sebelum shalat maghrib adalah sunnah .
( Lihat : Kitab Sunan Tirmidzi pada hadits no 185 )

عَنِ الْمُخْتَارِ بْنِ فُلْفُلٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ صَلَّيْتُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ قُلْتُ لأَنَسٍ أَرَآكُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ نَعَمْ رَآنَا فَلَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا
قال الشيخ الألباني : صحيح
Bersumber dari Al Mukhtar bin Ful Ful dari Anas bin Malik r.a , dia berkata : Aku mengerjakan shalat 2 raka’at sebelum maghrib di zaman Nabi saw.
Aku bertanya kepada Anas r.a. Apakah Rasulullah saw melihatmu melakukan hal itu ?
Anas menjawab : Benar ! Nabi saw melihat kami melakukannya. Beliau saw tidak menyuruh dan tidak melarang kami.
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabu Shalatil Musaafiriin bab 55 no 836
Abu Dawud Kitabut Tahajjud bab 11 no 1282 ( ini adalah lafadznya )

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ الْمُزَنِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ - ثَلاَثًا - لِمَنْ شَاءَ 
Bersumber dari Abdullah bin Al Mughaffal r.a, dia berkata : Nabi saw bersabda :
Diantara setiap 2 adzan terdapat shalat ( 3x ), bagi siapa yang mau.
( Diantara 2 adzan : maksudnya adalah antara adzan dan iqamah )
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Adzan  bab (24) Kam Bainal Adzani Wal Iqamah no 624 ( ini adalah lafadznya )
Muslim Kitabu Shalaatil Musaafirin bab (56) Baina Kulli Adzanaini Shalatun no 838

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ الْمُؤَذِّنُ إِذَا أَذَّنَ قَامَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - يَبْتَدِرُونَ السَّوَارِىَ حَتَّى يَخْرُجَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - وَهُمْ كَذَلِكَ يُصَلُّونَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ، وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ شَىْءٌ
قَالَ عُثْمَانُ بْنُ جَبَلَةَ وَأَبُو دَاوُدَ عَنْ شُعْبَةَ لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا إِلاَّ قَلِيلٌ
Bersumber dari Anas bin Malik r.a , dia berkata : Apabila muadzdzin mengumandangkan adzan, maka para shahabat Nabi saw berdiri dan bersegera menghampiri tiang tiang, sampai Nabi saw keluar sedangkan mereka dalam keadaan seperti itu, yaitu shalat 2 raka’at sebelum maghrib. Tidak ada sesuatu antara adzan dan iqamat.

Utsman bin Jabalah dan Dawud meriwayatkan dari Syu’bah (salah satu perawi hadits ini) bahwa:  Tidak ada jarak waktu antara adzan dan iqamah kecuali sebentar
Hadits shahih  riwayat Al Bukhari Kitabul Adzan bab(14) Kam Bainal Adzani Wal Iqamati no 625 ( ini adalah lafadznya )
Muslim Kitabu Shalaatil Musafiriin Wa Qashruha bab  Istihbabi Rak’ataini Qabla Shalaatil Maghrib no 826 (lihat syarah muslim)
Ahmad  3/280 no 13571

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا بِالْمَدِينَةِ فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ لِصَلاَةِ الْمَغْرِبِ ابْتَدَرُوا السَّوَارِىَ فَيَرْكَعُونَ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ الْغَرِيبَ لَيَدْخُلُ الْمَسْجِدَ فَيَحْسِبُ أَنَّ الصَّلاَةَ قَدْ صُلِّيَتْ مِنْ كَثْرَةِ مَنْ يُصَلِّيهِمَا
Bersumber dari Anas bin Malik r.a dia berkata : Ketika kami di Madinah, apabila muadzdzin mengumandangkan adzan buat shalat maghrib, maka orang orang bersegera menghampiri tiang tiang, mereka mengerjakan shalat 2 raka’at, sehingga jika ada orang asing ( yang baru datang ) memasuki masjid maka dia akan menyangka bahwa shalat maghrib telah didirikan dikarenakan banyaknya yang mengerjakan ( shalat 2 raka’at sebelum maghrib tersebut )
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabu Shalatil Musaafiriin bab 55 no 837

KESIMPULAN  AKHIR  :
-  SHALAT SUNNAH RAWATIB YANG MUAKKAD boleh dikerjakan 10 atau 12 raka’at. Tetapi lebih utama adalah 12 raka’at.

-  SHALAT SUNNAH RAWATIB YANG GHAIRU MUAKKAD  jumlahnya 8 raka’at

Wallahu A’lam.                        
Oleh : Ustadz Mubarak Abdul Rahim                             

TENTANG HIJRAH MENANTI