Senin, 29 Agustus 2016

BAGAIMANA HUKUM TERHADAP ORANG PIKUN

12.30
Orang pikun adalah orang yang mengalami penurunan daya ingat. Biasanya karena faktor usia.

Orang pikun ada 2 macam : 

1. Hilang daya ingat secara keseluruhan. Bahkan dia tidak ingat lagi istri dan anaknya. Dia juga tidak ingat lagi aktifitas kesehariannya.

2. Hilang daya ingatnya sebagian. Artinya : dia masih dapat mengingat keluarganya atau sebagian aktifitasnya . Terkadang dia ingat sesuatu tapi pada kali yang lain dia tidak ingat lagi.

عَنْ عَلِىٍّ عَنِ النَّبِىِّ -صلى –لله عليه وسلم- قَالَ « رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
قال الشيخ الألباني : صحيح

Bersumber dari Ali r.a dari Nabi saw yang bersabda : Diangkat pena dari tiga golongan :
Orang tidur sehingga dia bangun
Dan anak kecil sehingga dia baligh
Dan orang gila sehingga dia berakal
Hadits shahih riwayat Abu Dawud Kitabul Huduud bab 16 no 4405

Penjelasan :
Yang dimaksud dengan “diangkat pena” maknanya : pelanggaran agama yang dilakukannya , tidak dicatat dalam buku amal buruknya. 
Dalam hal ini termasuk meninggalkan kewajiban agama seperti shalat , puasa dll.

1. Jika orang yang pikun (yang ditanyakan) telah kehilangan daya ingat secara keseluruhan maka hukumnya disamakan dengan orang yang tidak waras (kehilangan aqal = gila).
Dia sudah tidak dikenai kewajiban shalat.

2. Jika orang yang pikun (yang ditanyakan) kehilangan daya ingat sebagian , dan dia masih ingat dengan shalat beserta tatacara melaksanakannya , maka kewajiban shalat tidak gugur darinya. Dia wajib melaksanakan shalat.

3. Jika orang yang pikun (yang ditanyakan) telah kehilangan daya ingat sementara, dan ingat lagi pada kali yang lain , dan lupa lagi pada kali lainnya dst, maka dia wajib shalat ketika ingat , dan tidak wajib shalat ketika datang pikunnya.

Maka keluarga yang tinggal bersama dengan orang ini harus memperhatikan benar benar keadaan dia , serta membantunya dalam melaksanakan kewajiban agama ketika dia ingat.
Tetapi ketika datang pikunnya maka jangan memaksanya untuk melakukan shalat.

Wallahu A’lam.
Oleh Ustadz Mubarak Abdul Rahim

BARANG SIAPA MENINGGALKAN SHOLAT MAKA SUNGGUH DIA TELAH "KAFIR"

12.18
Foto : Backpaker September 2016, Lokasi : Arashiama Jepang
Kalimat “KAFIR” bagi yang meninggalkan shalat yang terdapat dalam hadits pada kajian sebelumnya tentang SHOLAT tersebut difahami berbeda oleh para ulama :

1. IMAM AHMAD BIN HANBAL (IMAM HAMBALI) : yang dimaksud kafir dalam hadits tersebut maknanya adalah kafir secara i’tiqad. Yaitu : barang siapa yang meninggalkan shalat karena sebab apapun maka dia dianggap telah keluar dari agama Islam. Sudah dianggap murtad.

Faham ini berkonsekwensi : Orang yang meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan shalat karena alasan apapun, maka dia tidak boleh diperlakukan sebagai orang Islam. Tidak boleh dishalatkan dan dido’akan.

2. IMAM ASY SYAFI’I : Yang dimaksud “KAFIR” dalam hadits tersebut maknanya adalah : dia telah melaukan perbuatan dosa besar , yang merupakan “salah satu cabang kekafiran”.

Makna ini diambil jika yang bersangkutan meninggalkan shalat karena malas.
JIka dia meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya , maka dia telah jatuh kepada kekafiran yang sesungguhnya (keluar dari Islam.).

Alasan imam Asy Syafi’i dan yang sefaham dengannya adalah :

Didapati adanya dalil lain yang memalingkan arti “KAFIR” dalam hadits tersebut menjadi bukan bermakna kafir betul betul , diantaranya :

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya
Al Qur’an surah An Nisa’ ayat 48 dan 118

(Bersumber dari Ubadah bin Ash Shamit r.a ) , Rasulullah saw bersabda : 

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ
قال الشيخ الألباني : صحيح
تعليق شعيب الأرنؤوط : حديث صحيح وهذا إسناد رجاله ثقات رجال الشيخين غير المخدجي

Shalat yang 5 waktu  yang telah Allah wajibkan atas hamba-Nya, maka barangsiapa yang datang menghadap Allah dengan membawa shalat 5 waktu tersebut (= mengerjakannya) , dia tidak menyia nyiakannya serta tidak meremehkannya maka dia mendapatkan perjanjian dengan Allah , bahwa Allah akan memasukkan dia ke dalam surga.
Dan barangsiapa yang tidak mengerjakannya maka  dia tidak ada ikatan perjanjian dengan Allah.
Jika Allah menghendaki maka Allah akan mengadzabnya dan jika Allah menghendaki maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga.
Hadits shahih riwayat Abu Dawud Kitabul Witri  bab 2 no 1420
Nasai no 461
Ahmad 5/315

PENJELASAN :
Dalam ayat di atas diterangkan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan akan mengampuni dosa yang selain syirik yang Allah kehendaki.

Maksudnya seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan menyekutukan Allah , ataupun dia menganut agama selain Islam, maka Allah tidak akan mengampuni dia . Dia akan dimasukkan ke dalam neraka dan tidak akan ditolong oleh Allah untuk dimasukkan surga.

Sedangkan seseorang yang meninggal dunia tidak dalam keadaan sebagaimana di atas , maka Allah akan mengampuninya jika Allah menghendaki, Maka seorang Muslim yang meninggalkan shalat karena malas, yang mana dia masih mengakui Allah sebagai Tuhannya, dan tidak ada Tuhan yang dia sembah selain Allah, tetap mendapat peluang untuk diampuni dosanya. 

Ayat ini secara terang benderang menjelaskan bahwa orang Muslim yang wafat dalam keadaan meningglkan shalat karena malas, dia tidak jadi kafir. 

Hadits di atas menjelaskan bahwa barangsiapa yang meninggalkan shalat (karena malas) maka dia tidak ada perjanjian dengan Allah bahwa dia pasti masuk surga.

Selanjutnya Rasulullah saw melanjutkan : kalau Allah mau , maka Allah akan menyiksa dia.
DAN KALAU ALLAH MAU MAKA ALLAH AKAN MEMASUKKAN DIA KE DALAM SURGA.

Padahal kita tahu bahwa orang kafir tidak akan masuk surga selama lamanya.

Maka seorang Muslim yang meninggalkan shalat karena malas, dia tidak jadi kafir , tetapi dia berdosa besar yang diancam dengan siksa neraka. Tetapi dia tidak selama lamanya di neraka . Dia akan tetap masuk surga pada waktu yang dikehendaki oleh Allah swt.

Karena itu seorang yang diketahui sebagai Muslim , jika dia meninggalkan shalat karena malas, maka dia wajib diperlakukan sebagai Muslim. Wajib dimandikan , dikafankan , dishalatkan , dan diquburkan dan dido’akan sebagaimana Muslim lainnya. 

Wallahu A’lam.
SELESAI

dari saya :
yang saya pilih dan saya kuatkan adalah pendapat imam Asy Syafi’i.

Orang Muslim yang meninggalkan shalat karena malas maka dia telah melakukan perbuatan dosa besar yang diancam neraka, tetapi dia tidak jadi kafir. Maka jika dia meninggal dunia , dia berhaq diperlakukan selayaknya seorang Muslim.

Wallahu A’lam.
Oleh : Ustadz Mubarak Abdul Rahim

SHOLAT

11.51
Backpaker September 2016 Jepang, Lokasi Stasiun Bus  
Shalat adalah kewajiban agama yang tidak menerima rukhshah (keringanan) untuk meninggalkannya. Artinya , semua umat Islam wajib mengerjakan shalat dalam keadaan apapun , baik dia orang yang sudah tua atau masih muda , sehat atau sakit , laki atau perempuan, kaya atau miskin , dalam waktu senggang atau sibuk dll.

Selama seorang Muslim sehat aqalnya (tidak gila , tidak pikun , tidak pingsan) , maka dia wajib melaksanakan shalat.

Berbeda dengan haji , maka orang yang tidak memiliki bekal , atau sudah tua dan lemah , dan yang memiliki halangan lainnya , maka dia tidak berdosa apabila dia meninggalkan kewajiban hajinya.

Berbeda juga dengan puasa Ramadhan , maka orang yang sudah tua , musafir , orang yang sakit , dan kelompok lainnya yang mendapatkan rukhshah, boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. 

Sedangkan shalat , sama sekali tidak ada keringanan bagi umat Islam untuk meninggalkannya.

Allah dan Rasul-Nya saw hanya memberikan rukhshah dalam tatacara pelaksanaannya, yaitu :

- Rukhshah dalam waktu pelaksanaannya.
- Rukhshah dalam hal jumlah raka’atnya.  
- Rukhshah dalam tatacara pelaksanaannya

عَنْ أَبِى سُفْيَانَ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرًا يَقُولُ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ

Bersumber dari Abu Sufyan dia berkata : Aku mendengar Jabir r.a berkata : Aku mendengar Nabi saw bersabda : Diantara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabul Iman bab 35 no 82

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح غريب 
قال الشيخ الألباني : صحيح
تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده قوي

Bersumber dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya (yaitu Buraidah r.a) dia berkata : Rasulullah saw bersabda : Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka sungguh dia telah kafir. 
Hadits shahih riwayat Nasai Kitabush Shalah bab 8 no 463
Tirmidz i Kitabul Iman bab 9 no 2621
Ibnu Majah Kitabu Iqamatish Shalah bab 77 no 1079
Ahmad 5/346

4-1. Ada yang berpendapat bahwa maknanya adalah meremehkan waktu shalat.

Ini adalah pendapat shahabat Ibnu Mas’ud r.a, khalifah Umar bin Abdul Aziz, imam Al Auza’i, Masruq

Lihat  : KitabTafsir Ibnu Katsir jilid halaman surah Maryam ayat 59

Alasannya : 
Makna inilah yang tepat. Jika yang dimaksud adalah meninggalkan shalat maka ini adalah perbuatan orang kafir.

Ibnu Mas’ud r.a berkata : Yang dimaksud memelihara shalat adalah memelihara waktunya (yaitu dikerjakan pada waktunya). 
Lihat : Kitab Mu’jam Al Kabir imam Thabrani jilid 9 halaman 190 no 8938

Masruq berkata : Seseorang yang tidak memelihara shalat 5 waktu maka dia akan dicatat sebagai orang yang lalai. Menelantarkan shalat 5 waktu menyebabkan kebinasaan.
Yang dimaksud dengan menelantarkan adalah menyia nyiakan shalat dari waktunya masing masing.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata : yang dimaksud menyia nyiakan bukanlah meninggalkannya , tetapi menyia nyiakan waktu waktunya .

PEMBAHASAN

1. - RUKHSHAH DALAM WAKTU PELAKSANAANNYA.

Shalat adalah ibadah yang telah ditetapkan waktunya.
Umat Islam tidak diperkenankan melakukan shalat sesuka hatinya

Shalat ashar harus dilakukan pada waktu ashar
Shalat dhuhur harus dikerjakan pada waktu dhuhur.
Demikian seterusnya.

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
Al Qur’an surah An Nisa’ ayat 103

Tetapi dalam beberapa keadaan , umat Islam mendapat keringanan untuk dalam masalah waktu pelaksanaan shalat :

A. ORANG YANG TERLUPA SEHINGGA TERLEWAT WAKTU SHALAT TIDAK DENGAN SENGAJA, MAKA DIA DAPAT MENGERJAKAN SHALAT KETIKA DIA INGAT.

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا ، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ

Bersumber dari Anas r.a dari Nabi saw yang bersabda : Barangsiapa yang lupa (tidak mengerjakan) shalat , maka hendaknya dia mengerjakan shalat ketika dia ingat. Tidak ada kafarah baginya kecuali yang demikian itu (tidak ada sanksi kecuali harus mengerjakan shalat ketika ingat)
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabu Mawaaqitish Shalah bab 37 no 597

B.  ORANG YANG TERTIDUR SEHINGGA TERLEWAT WAKTU SHALAT TIDAK DENGAN SENGAJA, MAKA DIA DAPAT MENGERJAKAN SHALAT KETIKA DIA BANGUN.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

Bersumber dari Anas r.a dia berkata : Nabi saw yang bersabda : Barangsiapa yang lupa (tidak mengerjakan) shalat atau tertidur, maka kafarahnya adalah mengerjakan shalat ketika dia ingat.
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabul Masajid  bab 65 no 684

C. ORANG YANG SEDANG DALAM KEADAAN BEPERGIAN , MAKA DIA DAPAT MENJAMA’ (MENGGABUNG 2 WAKTU SHALAT) DAN DIKERJAKAN PADA SALAH SATU WAKTUNYA.

Misalnya : shalat dhuhur dan ashar , boleh dikerjakan pada waktu dhuhur. Sehingga pada waktu ashar sudah tidak perlu lagi mengerjakan shala ashar. 

Atau : shalat dhuhur dan ashar dikerjakan pada waktu ashar , yaitu : ketika sudah masuk waktu dhuhur , tidak mengerjakan shalat dhuhur sampai masuk waktu ashar.
Ketika masuk waktu ashar , mengerjakan shalat dhuhur sampai salam , kemudian mengerjakan shalat ashar.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ، ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا

Bersumber dari Anas bin Malik r.a, dia berkata : Bahwasanya Rasulullah saw apabila bepergian sebelum matahari tergelincir ( sebelum masuk waktu dhuhur ) , beliau saw menunda shalat dhuhurnya hingga masuk waktu ashar, kemudian beliau saw turun dari kendaraannya dan menjama’ 2 shalat tersebut.
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabu Taqshirish Shalah bab 16 no 1112 ( ini adalah lafadznya )
Muslim Kitabu Shalatil Musaafiriin bab 5 no 704.

عَنْ مُعَاذٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ يُصَلِّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا

Bersumber dari Mu’adz r.a dia berkata : Kami keluar bersama dengan Nabi saw dalam perang tabuk.
Maka Nabi saw mengerjakan shalat dhuhur dan ashar dengan cara jama’. Dan antara maghrib dan isya’juga dengan cara jama’.
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabu Shalatil Musaafiriin bab 6 no 706    

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ

Bersumber dari Ibnu Abbas r.a , dia berkata : Rasulullah saw pernah menjama’ antara shalat dhuhur dan ashar , serta antara maghrib dan isya’ di Madinah tanpa sebab ketakutan maupun hujan
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabu Shalatil Musafirin bab 6 no 705.

Penjelasan :
Jama’ ta’khir adalah rukhshah (keringanan) yang diberikan kepada umat Islam, baik yang sedang dalam perjalanan , atau sedang berada di persinggahan dalam perjalanan , atau bagi yang berada di kampungnya (tidak sedang melakukan perjalanan).

Yang dimaksud keringanan adalah sebuah pilihan yang boleh diambil dan boleh juga tidak diambil,Sehingga setiap Muslim yang berada dalam perjalanan boleh mengerjakan shalat dengan cara jama’ ta’khir , dan boleh juga mengerjakan shalat pada waktu masing masing. 

Khusus bagi yang sedang tidak bepergian , jama’ ta’khir juga boleh dilakukan sesekali. Karena Nabi saw senantiasa mengerjakan shalat pada waktu masing masing ketika tidak sedang bepergian.Beliau saw menjama’ shalatnya ketika tidak bepergian hanya sesekali saja.

D.  ORANG YANG SEDANG TIDAK BEPERGIAN DAPAT MENJAMA’ SHALATNYA ANTARA DHUHUR DAN ASHAR SERTA MENJAMA’ ANTARA MAGHRIB DAN ISYA’

Tetapi,  yang saya fahami bahwa :  jama’ ketika tidak sedang bepergian hanya boleh jama’ ta’khir , bukan jama’ taqdim.

Yaitu boleh mengerjakan shalat dhuhur pada waktu ashar serta 
Mengerjakan shaat maghrib dan isya pada waktu isya’

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ

Bersumber dari Ibnu Abbas r.a , dia berkata : Rasulullah saw pernah menjama’ antara shalat dhuhur dan ashar , serta antara maghrib dan isya’ di Madinah tanpa sebab ketakutan maupun hujan. 
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabu Shalatil Musafirin bab 6 no 705.

E. JIKA SEDANG HUJAN LEBAT , MAKA BOLEH MENJAMA’ SHALATNYA.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ

Bersumber dari Ibnu Abbas r.a , dia berkata : Rasulullah saw pernah menjama’ antara shalat dhuhur dan ashar , serta antara maghrib dan isya’ di Madinah tanpa sebab ketakutan maupun hujan. 
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabu Shalatil Musafirin bab 6 no 705.

PENJELASAN :
Sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil tentang dibolehkannya menjama’shalat ketika hujan. Karena ada kalimat “tanpa sebab ketakutan maupun hujan”, Kalimat ini difahami bahwa , pada masa itu menjama’ shalat ketika hujan sudah dikenal, Pemahaman seperti ini diambil agar kalimat “hujan” ada manfaatnya. Jika tidak difahami demikian , maka penyebutan “hujan” menjadi tidak berarti.


2. RUKHSHAH (KERINGANAN) DALAM JUMLAH RAKA’AT.

Yang dimaksud adalah :  shalat yang 4 raka’at dikerjakan hanya 2 raka’at, yaitu dhuhur , ashar  dan isya’.

Ini disebut dengan shalat  qashar.

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat
Al Qur’an surah An Nisa’ ayat 101

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى السَّفَرِ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَصَحِبْتُ أَبَا بَكْرٍ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَصَحِبْتُ عُمَرَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ ثُمَّ صَحِبْتُ عُثْمَانَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ وَقَدْ قَالَ اللَّهُ (لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ )

Bersumber dari ibnu Umar r.a , dia berkata : 
Aku menemani Rasulullah saw dalam perjalanan,maka beliau saw tidak pernah menambah dalam shalatnya lebih dari 2 raka’at sampai akhirnya Allah swt mewafatkannya.
Dan aku menemani Abu Bakar r.a dalam perjalanan,maka beliau tidak pernah menambah dalam shalatnya lebih dari 2 raka’at sampai akhirnya Allah swt mewafatkannya.
Dan aku menemani Umar r.a dalam perjalanan , maka beliau tidak pernah menambah dalam shalatnya lebih dari 2 raka’at sampai akhirnya Allah swt mewafatkannya.
Kemudian aku menemani Utsman r.a dalam perjalanan , maka beliau tidak pernah menambah dalam shalatnya lebih dari 2 raka’at sampai akhirnya Allah swt mewafatkannya
Dan Allah swt telah berfirman : Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu ( Al Qur’an surah Al Ahzab : 21 )

Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabu Taqshirish Shalah bab 11 no 1102
Muslim Kitabu Shalatil Musaafirin bab 1 no 689 ( ini adalah lafadznya ).

DARI SAYA :
Shalat qashar hanya boleh dikerjakan oleh orang YANG SUDAH MELAKUKAN SAFAR (PERJALANAN).

Tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang menetap di kampung halamannya.

3. RUKHSHAH ( KERINGANAN) DALAM HAL PELAKSANAANNYA.

Maksudnya adalah : Seseorang hendaknya mengerjakan shalat dengan berdiri, jika tak mampu karena sedang sakit , atau sudah tua atau sebab lainnya , maka hendaknya dia mengerjakan shalat dengan duduk. Kalau masih tidak mampu maka hendaknya dia mengerjakan shalat dengan berbaring.

Caranya diserahkan kepada masing masing sesuai dengan kemampuannya pada saat itu. Boleh miring ke kanan, atau ke kiri , atau terlentang , atau dengan cara apa saja.

Demikian juga cara duduknya , boleh dengan cara iftirasy , boleh bersila , boleh berselonjor dll, Semuanya diserahkan kepada yang melakukannya sesuai dengan kemampuannya saat itu.

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ - رضى الله عنه - قَالَ كَانَتْ بِى بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - عَنِ الصَّلاَةِ فَقَالَ « صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Bersumber dari Imran bin Hushain r.a dia berkata : Aku dulu menderita ambeien, lalu aku bertanya kepada Nabi saw tentang shalat (dalam keadaan menderita ambeien).
Maka Rasulullah saw bersabda : Shalatlah engkau dengan berdiri.
Jika engkau tidak mampu , maka shalatlah dengan duduk.
Jika engkau tidak mampu maka shalatlah di atas pembaringan (shalat sambil berbaring)
Hadits  shahih riwayat Al Bukhari Kitabu Taqshirish Shalah bab 19 no 1117


PERTANYAAN 
Assalamualaikum pak ustadz,saya kerja kuli bangunan, istirahat jam 11,00 , masuk jam 12-00. Dan pulang jam 4.00. Zhohor bisa tepat waktu., tapi sholat ashar nya ketinggalan, gimana menurut ustadz? Terima Kasih 

JAWABAN
Dari uraian yang panjang ini maka keadaannya adalah :
- Karena mampu shalat dhuhur pada waktunya (mungkin maksudnya pada awal waktunya), maka hendaknya dia melakukannya seperti itu.

- Karena selesai kerja jam 4 sore (setelah masuk waktu ashar), maka dicoba tetap mengerjakan shalat pada awal waktu masuknya ashar.  Kalau tidak memungkinkan , maka setelah selesai kerja (pada jam 4 tersebut) dia mengajak teman teman kerja untuk shalat berjama’ah di sekitar tempat kerjanya. Kalau ada masjid , maka kerjakan di masjid . Kalau tidak ada , kerjakan di mana saja. Bisa  di lokasi proyek dll.

Kalau tidak memungkinkan , maka carilah tempat lainnya , walaupun agak sedikit jauh dari lokasi proyek. Selama masih belum masuk waktu maghrib maka masih dapat mengerjakan shalat ashar tersebut.

Kalau tidak dapat mengerjakan dengan cara berjama’ah , maka kerjakan shalat sendirian. (misalnya : tida ada teman kerja yang beragama Islam atau  ada yang beragama Islam tetapi tidak mau mengerjakan shalat).

Dengan demikian , seseorang tetap dapat melaksanakan kegiatan duniawinya seiring dengan kewajiban agamanya.

Wallahu A’lam.
Oleh : Ustadz Mubarak Abdul Rahim

Minggu, 28 Agustus 2016

RANGKAIAN KEGIATAN PADA SHOLAT IEDUL FITHRI BESERTA TATACARA SHALAT IEDUL FITHRI

05.32
1. SHALAT IEDUL FITHRI  ( RANGKAIAN KEGIATAN )

1. Tidak perlu ada mimbar . Rasulullah saw tidak berkhutbah di atas mimbar dalam shalat Ied.
(Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Iedain bab 6 no 956) 
  
2. Selama menunggu imam datang , para makmum terus bertakbir.
( Cara ini diamalkan para shahabat , diantaranya adalah Ibnu Umar r.a )
( Riwayat Ad Daraquthni Kitabul Iedain no 1716 dengan sanad yang jayyid )


3. Tidak didapati adanya hadits shahih yang disandarkan kepada Rasulullah saw tentang susunan kalimat takbir . Maka kita boleh bertakbir seperti takbirnya para shahabat , diantaranya takbirnya shahabat Ibnu Mas’ud r.a :

Allahu Akbar    Allahu Akbar
Laa Ilaaha Illallaahu Wallallaahu Akbar
Allahu Akbar Walillaahil Hamd

( Shahih riwayat Ibnu Abi Syaibah Kitabush Shalawat bab 413 no 5633 )

Saya kurang menyukai tambahan tambahan dalam takbiran yang tidak jelas asal usulnya , seperti :
Laa ilaaha illallahu wahdah , shadaqa wa’dah wanashara ‘abdah, dst

4. Shalat Ied dilakukan pada waktu dhuha ( setelah matahari terbit ). Dalam hal ini tidak didapati adanya hadits shahih yang disandarkan kepada Nabi saw. Tetapi ada riwayat shahih dari shahabat Nabi saw yang menjelaskan demikian.
Hadits shahih riwayat Al Bukhari secara mu’allaq Kitabul Iedain bab 10 sebelum no 968
Abu Dawud Kitabush Shalah bab 240 no 1135 ( ini adalah lafadznya )
Ibnu Majah Kitabu Iqaamatish Shalah bab 170 no 1317


5. Ketika imam datang , shalat Ied langsung didirikan.
Imam tidak melakukan shalat apapun sebelum shalat Ied ataupun sesudahnya.

( Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Iedain bab 26 no 989 )

6. Tidak ada adzan atau iqamat sebelum shalat Ied. Juga tidak ada seruan Ash Shalaatu Jaami’ah atau lainnya.
( Hadits shahih riwayat Muslim Kitabu Shalatil Iedain bab 8 no 887 )

7. Shalat Ied dilakukan dengan 2 raka’at , caranya seperti shalat shubuh, dengan sedikit perbedaan :
( Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Iedain bab 26 no 989 )


8. Pada raka’at pertama bertakbir 7 kali sebelum membaca Al Fatihah sudah termasuk takbiratul ihram.
Pada raka’at kedua bertakbir 5 kali selain takbir ruku’, sebagaimana penjelasan shahabat Ibnu Abbas r.a terhadap takbir 7 dan 5 pada shalat Ied.

Hadits riwayat Ahmad 2/180 no 6649
Ibnu Majah Kitabu Iqamatish Shalah bab 156 no 1579
   

9. Bacaan Iftitah dilakukan setelah 7 takbir ( dan sebelum Al Fatihah ) : hal ini didasarkan kepada dhahirnya hadits , bahwa iftitah tempatnya adalah antara takbir dan bacaan ( Al Fatihah )
( Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Aadzan bab 89 no 744 )


10. Setelah salam dari shalatnya , imam langsung berdiri menghadap kepada makmum untuk berkhutbah. Tidak ada dzikir dsb.
( Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Iedain bab 6 no 956 )


11. Makmum dianjurkan mendengarkan khutbah Ied , tetapi tidak diwajibkan. Yang ingin pulang setelah shalat Ied tanpa mendengarkan khutbah , maka tidak dilarang.Hadits shahih riwayatAbu Dawud Kitabush Shalah bab 247 no 1155
Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwaaul Ghaliil no 629


12. Tentang khutbah Ied yang diawali dengan 9 takbir pada raka’at pertama , dan 7 takbir pada raka’at kedua, haditsnya tidak shahih.
( Riwayat Al Baihaqi dalam As Sunanul Kubra Kitabu Shalatil Iedain bab 24 no 6012 )

Maka mengawali khutbah Ied dikembalikan kepada cara yang sudah dikenal dalam khutbah lainnya yaitu diawali dengan hamdalah
Hadits shahih riwayat Abu Dawud no 2120
Ahmad 1/392


13. Khutbah Ied dilakukan hanya sekali.
( Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Iedain bab 6 no 956

Tentang khutbah Ied yang dilakukan dengan 2 kali yang diselingi dengan duduk ( seperti khutbah Jum’ah )haditsnya tidak shahih
Hadits riwayat Ibnu Majah Kitabu Iqamatish Shalah bab 158 no 1289
Di dalam sanadnya ada rawi dha’if bernama Isma’il bin Muslim dan Abu Bahr
Syaikh Al Albani menilainya sebagai hadits yang munkar ( dha’if )

 
14. Setelah khutbah dilakukan , maka rangkaian shalat Ied sudah selesai.

15. Setelah itu tidak ada lagi takbiran.
Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah Kitabush Shalawat bab 412 no 5621
Hadits ini sanadnya shahih tetapi mursal karena Az Zuhri bukan shahabat . Beliau adalah seorang tabi’in.


16. Ucapan selamat antara sesama Muslim adalah : Taqabbalallahu minnaa wa minka. Kalau orangnya banyak , boleh juga memakai bentuk jama’ : Taqabbalallahu minnaa wa minkum
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani berkata :
Dan kami telah meriwayatkan di dalam kitab Al Muhamiliyyaat dengan sanad yang hasan, bersumber dari Jubair bin Nufair,  dia berkata : Para shahabat Rasulullah saw apabila bertemu di Hari Raya, sebagian akan mengatakan kepada yang lain :

TAQABBALALLAAHU MINNAA WA MINKA (semoga Allah menerima amalan kami dan amalanmu)
( Dikutip dari : Kitab Fathul Baari jilid 3 halaman 567 Kitabul Iedain bab 3 no 952 )
2. SHALAT IEDUL FITHRI DAN IEDUL ADH-HA ( TATACARA )

1. Mendahulukan shalat, setelah itu baru dilakukan khutbah

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ - رضى الله عنهم - فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

Bersumber dari Ibnu Abbas r.a , dia berkata : Aku hadir melakukan shalat Ied bersama dengan Rasulullah saw , dan dengan Abu Bakar r.a, Umar r.a , Utsman r.a. Mereka semuanya melakukan shalat Ied sebelum khutbah

Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Iedain bab 8 no 962
Muslim Kitabul Iedain bab 1 no 884


2. Shalat Iedul Fithri atau Iedul Adh-ha dilakukan dengan 2 raka’at

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - خَرَجَ يَوْمَ الْفِطْرِ ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا

Bersumber dari Ibnu Abbas r.a, sesungguhnya Nabi saw keluar ke tempat shalat Iedul Fithri, lalu shalat 2 raka’at. Beliau saw tidak shalat apapun sebelum dan sesudahnya
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Iedain bab 26 no 989

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ قَالَ عُمَرُ: صَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْأَضْحَى رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قال الشيخ الألباني : صحيح
تعليق شعيب الأرنؤوط : صحيح رجاله ثقات رجال الشيخين

Bersumber dari Abdurrahman bin Abi Laila , dia berkata : Umar r.a berkata :
Shalat Jum’ah adalah 2 raka’at , Shalat Iedul Fithri adalah 2 raka’at, Shalat Iedul Adh-ha adalah 2 raka’at , Shalat dalam perjalanan adalah 2 raka’at.
Sempurna ! Tidak kurang ! Berdasarkan lisan Muhammad saw

Hadits shahih riwayat Nasai Kitabul Jum’ah bab 37 no 1420
Ahmad 1/ 37 no 259


3. Raka’at pertama dilakukan dengan 7 takbir termasuk takbiratul ihram
Raka’at kedua dilakukan dengan 5 takbir tidak termasuk takbir ruku’


عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُكَبِّرُ فِى الْفِطْرِ وَالأَضْحَى فِى الأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ وَفِى الثَّانِيَةِ خَمْسًا
قال الشيخ الألباني : صحيح
تعليق شعيب الأرنؤوط : حسن لغيره وهذا إسناد ضعيف لضعف ابن لهيعة

Bersumber dari Aisyah r.a , sesungguhnya Rasulullah saw biasa bertakbir pada Hari Raya Fitri dan Adh-ha , pada raka’at pertama 7 takbir dan pada raka’at ke 2 adalah 5 takbir
Hadits riwayat Abu Dawud Ktabu bab 253 no 1151 ( ini adalah lafadznya )
Ibnu Majah Kitabu Iqamatish Salah bab 156 no 1280
Ahmad 6/70 no 23888
Dinilai sebagai hadits shahih oleh Syaikh Al Albani


عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَبَّرَ فِى عِيدٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ تَكْبِيرَةً سَبْعاً فِى الأُولَى وَخَمْساً فِى الآخِرَةِ وَلَمْ يُصِلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده حسن
قال الشيخ الألباني : صحيح لغيره

Bersumber dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya , bahwasanya Nabi saw  bertakbir pada hari Raya dengan 12 takbir, yaitu 7 takbirpada raka’at pertama dan 5 takbir pada raka’at kedua.
Dan beliau saw tidak melakukan shalat sebelum dan sesudahnya

Hadits riwayat Ahmad 2/180 no 6649
Ibnu Majah Kitabu Iqamatish Shalah bab 156 no 1579


Penjelasan :
Dalam hadits hadits yang disandarkan kepada Rasulullah saw hanya disebutkan bahwa pada raka’at pertama Nabi saw bertaktir 7 kali dan pada raka’at ke 2 bertakbir 5 kali.
Tidak disebutkan apakah takbir tersebut termasuk takbiratul ihram atau takbir ruku’ atau lainnya?

Tetapi shahabat Ibnu Abbas r.a melakukan shalat Ied dengan 7 kali takbir pada raka’at pertama sudah termasuk takbiratul Ihram dan pada raka’at kedua dengan 6 kali takbir termasuk takbir ruku’.

عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاس أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْعِيدِ فِي الْأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ بِتَكْبِيرَةِ الاِفْتِتَاحِ و فِي الْآخِرَةِ سِتًّا بِتَكْبِيرَةِ الرَّكْعَةِ كُلُّهُنَّ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ
قال الشيخ الألباني : هذا سند صحيح على شرط الشيخين

Bersumber dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas r.a, bahwasanya Ibnu Abbas r.a bertakbir pada shalat Ied pada raka’at pertama dengan 7 takbir termasuk takbir pembuka ( takbiratul ihram ), dan pada raka’at akhir dengan 6 takbir termasuk takbir ruku’. Semua takbir tersebut dilakukan sebelum melakukan bacaan
Riwayat Ibnu Abi Syaibah Kitabush Shalawaat bab 419 no 5704
Sanadnya dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani ( Irwaaul Ghalil no 639 )

Penjelasan :
Dari perbuatan Ibnu Abbas r.a ini dapat difahami bahwa :

- Pada raka’at pertama : jumlah takbir adalah 7 kali sudah termasuk takbiratul ihram.
Prakteknya : hendaknya kita bertakbir ( takbiratul Ihram ) , kemudian ditambah dengan 6 takbir lagi

- Pada raka’at kedua : jumlah takbirnya adalah 5 kali.
Prakteknya : hendaknya kita bangun dari sujud dengan bertakbir. Kemudian bertakbir lagi 5 kali.
Kemudian bertakbir untuk ruku’. Dst

-    Disukai mengangkat kedua tangan pada setiap takbir

Didapati riwayat yang dha’if bahwa shahabat Umar r.a senantiasa mengangkat tangan dalam takbir shalat Ied dan shalat janazah

عَنْ بَكْرِ بْنِ سُوَادَةَ : أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ كُلِّ تَكْبِيرَةٍ فِى الْجَنَازَةِ وَالْعِيدَيْنِ
وَهَذَا مُنْقَطِعٌ
قال الشيخ الألباني : وابن لهيعة ضعيف

Bersumber dari Bakri bin Suwaadah , bahwasanya Umar bin Al Khaththab r.a mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan tiap tiap takbir dalam shalat janazah dan shalat 2 Hari Raya
Riwayat Al Baihaqi dalan As Sunanul Kubra Kitabu Shalatil Iedain bab 42 no 5984
Imam Al Baihaqi berkata : Sanadnya terputus
Syaikh Al Albani berkata : Ibnu Lahii’ah rawi yang dha’if

Didapati riwayat lain :

عَنْ نَافِعٍ عَنِ ا بْنِ عُمَرَ اَنَّهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ كُلِّ تَكْبِيْرَةٍ عَلَى الْجَنَازَةِ

Bersumber dari Nafi’ dari Ibnu Umar r.a , bahwasanya Ibnu Umar r.a biasa mengangkat kedua tangannya setiap kali bertakbir pada shalat janazah
Riwayat Ibnu Abi Syaibah Kitabul Janaaiz bab 87 no 11388

Dalam shalat janazah , tidak didapati hadits yang menunjukkan apakah Nabi saw mengangkat tangan pada sa’at takbir atau tidak . Tetapi Ibnu Umar r.a yang dikenal sebagai shahabat yang sangat mencontoh sunnah Nabi saw, ternyata mengangkat tangannya ketika takbir, Dengan keyaqinan bahwa Ibnu Umar r.a tidak akan melakukan hal tersebut kecuali mengikut sunnah Nabi saw , maka mengangkat tangan ketika takbir pada shalat janazah adalah disunnahkan,Hal demikian juga disukai pada shalat Ied.

Selain berdasar kepada riwayat riwayat itu , juga didasarkan kepada kenyataan bahwa tidak didapati dalil yang tegas tentang apakah Nabi saw mengangkat tangan atau tidak pada takbir shalat Ied, Karena tidak didapati dalil yang tegas dan shahih tentang bagaimana kedudukan tangan ketika bertakbir dalam shalat Ied, maka kedudukan tangan ketika bertakbir dalam shalat Ied menjadi tidak berdalil.

Karena itulah kedudukan ini dikembalikan kepada cara yang sudah dikenal, yaitu sikap tangan ketika bertakbir pada shalat ( fardhu ) ketika dalam keadaan berdiri , yaitu dengan mengangkat kedua tangan:

عَنْ عُمَيْرِ بْنِ حَبِيبٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ كُلِّ تَكْبِيرَةٍ فِى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ
قال الشيخ الألباني : صحيح
تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده صحيح

Bersumber dari ‘Umair bin Habiib r.a, dia berkata : Bahwasanya Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya bersama tiap tiap takbir dalam shalat fardhu
Hadits shahih riwayat Ibnu Majah Kitabu Iqaamatish Shalah bab 15 no 861
Ahmad  4/316 no 18369 ( bersumber dari Wail bin Hujr r.a )


Wallahu A’lam

4.Tidak ada bacaan tertentu antara 2 takbir, tetapi shahabat Ibnu Mas’ud r.a mengatakan bahwa antara 2 takbir dipanjatkan pujian kepada Allah dan pengagungan kepadaNya

قَالَ عُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ: " سَأَلْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ عَمَّا يَقُولُهُ بَعْدَ تَكْبِيرَاتٍ الْعِيدِ قَالَ " يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِى عَلَيْهِ وَيُصَلِّى عَلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم
رواه الأثرم وحرب واحتج به أحمد- صحيح . وأخرجه الطبراني في " المعجم الكبير

‘Uqbah bin ‘Aamir berkata : Aku bertanya kepada Ibnu Mas’ud r.a tentang apa yang dibaca setelah takbir takbir dalam shalat Ied. Dia menjawab : memanjatkan pujian kepada Allah, memberikan sanjungan kepadaNya, bershalawat atas Nabi saw
Riwayat Al Atsram
Juga diriwayatkan oleh imam Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir
Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani
( Dikutip dari : Irwaaul Ghaliil no 642 )


5. Do’a iftitah dibaca setelah takbir ke 7 sebelum membaca Al Fatihah, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa do’a iftitah dibaca setelah takbiratul ihram, sebelum takbir yang lainnya

عن ابي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَسْكُتُ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَبَيْنَ الْقِرَاءَةِ إِسْكَاتَةً - فَقُلْتُ بِأَبِى وَأُمِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِسْكَاتُكَ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةِ مَا تَقُولُ قَالَ « أَقُولُ اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ ، اللَّهُمَّ نَقِّنِى مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

Bersumber dari Abu Hurairah r.a , dia berkata : Bahwasanya Rasulullah saw diam sejenak antara takbir dan bacaan. Maka aku berkata : Dengan bapak dan ibuku ( sebagai tebusannya ), wahai Rasulullah, engkau diam antara takbir dan bacaan, apakah yang engkau baca ?
Rasulullah saw menjawab : Aku membaca :
Ya Allah, jauhkanlah aku dengan kesalahan kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat.
Ya Allah, bersihkanlah diriku dari kesalahan kesalahan sebagaimana pakaian putih dibersihkan dari noda
Ya Allah, cucilah kesalahan kesalahanku dengan air, salju dan embun

Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Aadzan bab 89 no 744
Yang berpendapat bahwa do’a iftitah dibaca setelah takbiratul ihram, karena didapati hadits yang menyatakan bahwa setelah selesai dari 7 takbir langsung membaca bacaan ( al Qur’an )  :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ قَالَ نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « التَّكْبِيرُ فِى الْفِطْرِ سَبْعٌ فِى الأُولَى وَخَمْسٌ فِى الآخِرَةِ وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا
قال الشيخ الألباني : حسن

Bersumber dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash, dia berkata : Nabi saw bersabda :
Takbir pada Hari Raya Fithri adalah 7 kali pada raka’at pertama dan 5 kali pada raka’at kedua, serta membaca bacaan setelah dua macam takbir tersebut

Hadits riwayat Abu Dawud Kitabush Shalah bab 253 no 1151
Tirmidzi Kitabush Shalah bab 273 no 536
Ibnu Majah Kitabu Iqaamatish Shalaah bab 156 no 1279

Dinilai sebagai hadits hasan oleh Syaikh Al Albani

Penjelasan :
- Yang berpendapat bahwa do’a iftitah dibaca setelah takbir pertama ( sebelum takbir lainnya ) adalah imam Syafi’i dan diriwayatkan dari bahwa imam Ahmad juga berpendapat seperti itu.

Alasan yang sefaham dengan pendapat ini adalah adanya sabda  Nabi saw , bahwa bacaan Al Fatihah itu adalah setelah takbir. Dalam hadits ini tidak disebutkan adanya bacaan iftitah , sedangkan bacaan iftitah harus dibaca. Maka tempat bacaan iftitah dikembalikan kepada amalan shalat fardhu , yaitu dilakukan setelah takbiratul ihram.
Maka prakteknya : Takbiratul ihram , kemudian membaca do’a iftitah , kemudian membaca Ta’awudz , lalu bacaan Al Fatihah.

- Yang berpendapat bahwa do’a iftitah dibaca setelah menyelesaikan 7 takbir adalah imam Ahmad (dalam sebagian riwayat) , dan Al Khallal , imam Al Auza’i

Alasan yang sefaham dengan pendapat ini adalah : Tidak adanya hadits yang secara tegas menyebutkan tentang tempat bacaan iftitah dalam shalat Ied. Maka bacaan iftitah dalam shalat Ied dikembalikan kepada cara yang sudah dikenal yaitu shalat fardhu. Dalam shalat fardhu , bacaan iftitah dibaca antara takbir dan surah Al Fatihah.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا كَبَّرَ فِى الصَّلاَةِ سَكَتَ هُنَيَّةً قَبْلَ أَنْ يَقْرَأَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى أَرَأَيْتَ سُكُوتَكَ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةِ مَا تَقُولُ قَالَ أَقُولُ :
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِى مِنْ خَطَايَاىَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْنِى مِنْ خَطَايَاىَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ

Bersumber dari Abu Hurairah r.a, dia berkata : Biasanya Rasulullah saw apabila mengucapkan takbir di dalam shalat ( takbiratul ihram ), beliau saw diam sejenak sebelum membaca ( Al Fatihah ). Maka aku berkata : Dengan bapak dan ibuku (sebagai tebusannya) , wahai Rasulullah, engkau diam antara takbir dan bacaan ( Al Fatihah ). Apa yang engkau baca ?
Nabi saw bersabda : Aku membaca :
Allahumma baa’id bainii wa baina khathaa yaaya ( dst )

Hadits shahih riwayat Bukhari Kitabul Adzan bab no 743
Muslim Kitabul Masaajid bab no 598 ( ini adalah lafadznya )


Dalam redaksi lain , Nabi saw menyatakan bahwa bacaan ifitah adalah sebelum bacaan Al Qur’an :

عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ قَالَ َقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّهُ لاَ تَتِمُّ صَلاَةٌ لأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ فَيَضَعَ الْوُضُوءَ ». يَعْنِى مَوَاضِعَهُ « ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَحْمَدُ اللَّهَ جَلَّ وَعَزَّ وَيُثْنِى عَلَيْهِ وَيَقْرَأُ بِمَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
قال الشيخ الألباني : صحيح
قال حسين سليم أسد : إسناده صحيح

Bersumber dari Rifaa’ah bin Raafi’r.a , dia berkata : Nabi saw bersabda :
Sesungguhnya tidak sempurna shalatnya seseorang sehingga dia berwudhu’ sesuai pada tempatnya ( secara sempurna ) , kemudian dia bertakbir dan memuji Tuhannya Yang Maha Agung dan menyanjung Nya, dan membaca Al Qur’an yang mudah baginya

Hadits shahih riwayat Abu Dawud Kitabush Shalah bab 144 no 857 (ini lafadznya)
Ad Darimi Kitabush Shalah bab 78 no 1329

Penjelasan :
Dalam hadits ini disebutkan urutannya  : Takbir , kemudian iftitah , kemudian membaca Al Qur’an

Maka dalam shalat Ied , prakteknya : Takbir 7 kali , lalu baca iftitah , lalu ta’awudz ‘ lalu Al Fatihah

Tentang sabda Nabi saw : “Dan bacaan Al Fatihah dibaca setelah takbir “ tidaklah menunjukkan bahwa bacaan setelah 7 takbir tidak ada iftitah , melainkan untuk menjelaskan yang dhahir saja.
Cara seperti ini pernah juga disampaikan oleh Nabi saw di dalam sabdanya :

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ، وَاقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

Bersumber dari Abu Hurairah r.a , Nabi saw bersabda :
“Apabila engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke arah Qiblat lalu bertakbirlah dan bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur’an”
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Aiman bab 15 no 6667 ( ini adalah lafadznya )
Muslim Kitabush Shalat bab 11 no 397


Dalam hadits ini , Nabi saw tidak menyebut iftitah , tetapi setelah takbir langsung membaca Al Qur’an, Sekalipun demikian , tetap saja hadits ini difahami bahwa setelah takbir hendaknya membaca iftitah terlebih dahulu , baru kemudian membaca Al Qur’an..

Maka : Bacaan iftitah adalah dilakukan setelah takbir dan sebelum bacaan
Sehingga dalam pelaksanaan shalat Ied, bacaan iftitah adalah setelah 7 takbir , bukan setelah takbir pertama

Wallahu A’lam

6. Setelah membaca Al Fatihah, hendaknya membaca surah Al A’laa pada raka’at pertama dan membaca surah Al Ghaasyiyah pada raka’at kedua.

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ

Bersumber dari An Nu’man bin Basyir r.a , dia berkata : Bahwasanya Rasulullah saw membaca di dalam shalat 2 Hari Raya dan dalam shalat Jum’ah : Sabbihisma Rabbikal A’laa dan Hal Ataaka Hadiitsul Ghaasyiyah. Jika Hari Raya bertepatan dengan hari Jum’ah, beliau saw juga membaca 2 surah tersebut di dalam 2 shalatnya ( shalat Ied dan shalat Jum’ah )
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabul Jum’ah bab 16 no 878
7. Atau membaca surah Qaaf pada raka’at pertama dan pada raka’at kedua membaca surah Al Qamar.

عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سَأَلَ أَبَا وَاقِدٍ اللَّيْثِىَّ مَا كَانَ يَقْرَأُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الأَضْحَى وَالْفِطْرِ فَقَالَ كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ

Bersumber dari ‘Ubaidilla  bin Abdillah, sesungguhnya ‘Umar bin Khaththab r.a bertanya kepada Abu Waaqid Al Laitsii : Apa yang dibaca oleh Rasulullah saw di dalam shalat Iedul Adh-ha dan shalat Iedul Fithri ?
Dia menjawab : di dalam shalat 2 Hari Raya tersebut Rasulullah saw membaca Qaaf Wal Qur’aanil Majiid dan  Iqtarabatis Saa’ah Wansyaqqal Qamar

Hadits shahih riwayat Muslim Kitabul Iedain bab 3 no 891

Penjelasan :
Bacaan surah setelah Al Fatihah pada shalat Ied , boleh surah apa saja . Didasarkan kepada keumuman sabda Nabi saw : “Kemudian bacalah yang mudah bagimu daripada Al Qur’an”.
(Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Aiman bab 15 no 6667, Muslim Kitabush Shalat bab 11 no 397).
Tetapi yang paling utama adalah membaca surah Al A’laa + Al Ghaasyiyah atau surah Qaaf + Al Qamar sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi saw.

8. Tatacara shalat Ied adalah sama dengan shalat 2 raka’at yang lainnya, yang berbeda hanyalah jumlah takbir pada awal raka’at,Karena tidak didapati dalil yang menerangkan tatacara shalat Ied secara khusus, maka cara shalat Ied dikembalikan kepada cara shalat 2 raka’at yang sudah ada , yaitu shalat shubuh.
Penjelasan :
Maksudnya : Cara ruku’, I’tidal , sujud , duduk antara 2 sujud , bangun dari sujud , tahiyyat , dan salam , adalah dilakukan dengan cara yang sudah kita kenal pada shalat yang 2 raka’at lainnya yaitu shalat shubuh.

9. Setelah shalat, dilakukan khutbah. Makmum dianjurkan mendengarkan khutbah, tetapi tidak mengapa jika langsung pulang setelah shalat tanpa ikut mendengar khutbah.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ « إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
قال الشيخ الألباني : صحيح

Bersumber dari Abdullah bin Assaa-ib r.a , dia berkata : Aku hadir melakukan shalat Ied bersama dengan Rasulullah saw. Maka ketika selesai shalat, beliau saw bersabda : Sesungguhnya aku akan berkhutbah, maka barangsiapa yang mau duduk mendengarkan khutbah , hendaknya dia duduk mendengarkan.
Dan barangsiapa yang ingin pergi, maka dia boleh pergi ( tidak mendengarkan khutbah )

Hadits shahih riwayatAbu Dawud Kitabush Shalah bab 247 no 1155
Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwaaul Ghaliil no 629


Penjelasan :
•    Shalat Ied tidak sama dengan  shalat Jum’ah. Khutbah dalam shalat Ied dilakukan setelah shalat , berbeda dengan jum’ah yang dilakukan khutbah dulu baru dikerjakan shalat.
•    Tidak ada kewajiban bagi makmum untuk mendengarkan khutbah Ied, berbeda dengan jum’ah , yang mewajibkan makmumnya untuk mendengarkan khutbah.
•    Khutbah Ied dilakukan tanpa mimbar, berbeda dengan jum’ah yang pakai mimbar
•    Khutbah Ied tidak dilakukan 2 kali ( menurut satu pendapat ) , berbeda dengan khutbah jum’ah yang disepakati harus dengan 2 kali khutbah yang diselingi dengan duduk.

Cabang permasalahan :

1. Apakah khutbah Ied dilakukan 2 kali seperti khutbah Jum’ah , atau dilakukan hanya sekali ?
A) Yang berpendapat bahwa khutbah Ied dilakukan dengan 2 kali seperti khutbah Jum’ah, yang diselingi dengan duduk

عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ قَالَ : السُّنَّةُ أَنْ يَخْطُبَ الإِمَامُ فِى الْعِيدَيْنِ خُطْبَتَيْنِ يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ

Bersumber dari ‘Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah, dia berkata : Menurut sunnah, hendaknya imam melakukan 2 kali khutbah dalam shalat 2 Hari Raya, yang dipisahkannya dengan duduk
Hadits riwayat Al Baihaqi dalam As Sunanul Kubra Kitabu Shalatil Iedain bab 23 no 6008
Imam Nawawi berkata : Hadits Ubaidillah diriwayatkan imam Syafi’I di dalam kitab Al Umm dengan sanad yang dhaif.
Ubaidillah adalah seorang dari tabi’in (yang tidak pernah berjumpa dengan Nabi saw)

( Al Majmu’ syarah Al Muhadzdzab jilid 5 halaman 21 )


عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحًى فَخَطَبَ قَائِمًا ثُمَّ قَعَدَ قَعْدَةً ثُمَّ قَامَ
قال الشيخ الألباني : منكر

Bersumber dari Jabir r.a , dia berkata : Rasulullah saw keluar untuk shalat pada hari Raya Fithri atau Adh-ha
Lalu beliau saw berkhutbah dengan berdiri, kemudian duduk, kemudian berdiri lagi

Hadits riwayat Ibnu Majah Kitabu Iqamatish Shalah bab 158 no 1289
Di dalam sanadnya ada rawi dha’if bernama Isma’il bin Muslim dan Abu Bahr
Syaikh Al Albani menilainya sebagai hadits yang munkar ( dha’if )

B)  Yang berpendapat bahwa khutbah Ied dilakukan dengan sekali saja , dengan sekali berdiri tanpa duduk

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى ، فَأَوَّلُ شَىْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ ، فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ ، وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ ، فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ ، فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ ، أَوْ يَأْمُرَ بِشَىْءٍ أَمَرَ بِهِ ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ

Bersumber dari Abu Sa’id Al Khudri r.a , dia berkata : Bahwasanya Rasulullah saw keluar pada Hari Raya Fithri dan Hari Raya Adh-ha ke mushalla ( = tanah lapang tempat melaksanakan shalat Ied ), dan yang pertama kali dilakukannya adalah shalat kemudian beliau saw berpaling, berdiri menghadap kepada orang orang sedangkan mereka tetap duduk dalam barisannya. Lalu Nabi saw menasihati dan berwashiyat serta memerintahkan kepada mereka. Dan apabila Nabi saw hendak mengirim pasukan atau menyuruh sesuatu maka beliau saw langsung melakukannya. Kemudian Nabi saw berpaling ( pergi )
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Iedain bab 6 no 956
 
Dalam lanjutan hadits riwayat Al Bukhari tersebut didapati bahwa Nabi saw berkhutbah pada hari Raya tidak pakai mimbar. Yang pertama melakukan khutbah Ied di atas mimbar adalah Marwan.
Yang membuatkan mimbar tersebut adalah Katsir bin Shalt ( seorang dari Tabi’in ), yang tinggal di dekat mushalla ( tanah lapang yang biasa dipakai Rasulullah saw untuk shalat Ied )

Mimbar tersebut terbuat dari tanah.

( Lihat :  Fathul Baari jilid 3 halaman 571 Kitabul Iedain bab 6 no 956 )

Riwayat tersebut adalah :

قَالَ أَبُو سَعِيدٍ فَلَمْ يَزَلِ النَّاسُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى خَرَجْتُ مَعَ مَرْوَانَ وَهْوَ أَمِيرُ الْمَدِينَةِ فِى أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ ، فَلَمَّا أَتَيْنَا الْمُصَلَّى إِذَا مِنْبَرٌ بَنَاهُ كَثِيرُ بْنُ الصَّلْتِ

Abu Sa’id Al Khudri r.a berkata : Manusia masih melakukan seperti itu ( seperti pada zaman Nabi saw ).
Sampai pada suatu ketika aku keluar pada hari raya Adh-ha atau Fitri bersama Marwan , dia adalah Amir (Gubernur) Madinah. Ketika kami sampai di mushalla ( tanah lapang ), ternyata ada sebuah mimbar yang dibangun oleh Katsir bin Ash Shalt

Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Iedain bab 6 no 956

Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalaani berkata :
Riwayat ini menunjukkan bahwa pada masa Rasulullah saw tidak ada mimbar di mushalla ( tempat shalat Ied). Dari sini disimpulkan bahwa yang pertama kali memakai mimbar adalah Marwan.
( Fathul Baari jilid 3 halaman 571 Kitabul Iedain bab 6 no 956 )
Di dalam hadits di atas didapati urutan kegiatan Nabi saw pada shalat Hari Raya :

1.    Shalat
2.    Berdiri menghadap jama’ah untuk mentampaikan khutbah
3.    Pergi meninggalkan tempat itu.

2.  Mengawali khutbah dengan membaca takbir atau membaca hamdalah ?
Dalam hal ini umat Islam berbeda pendapat : Ada yang memulai khutbah dengan membaca takbir , dan ada yang mengawali khutbah dengan membaca hamdalah seperti khutbah Jum’ah.
A)  Yang mengawali khutbah Ied dengan membaca takbir

عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ قَالَ : السُّنَّةُ فِى تَكْبِيرِ يَوْمِ الأَضْحَى وَالْفِطْرِ عَلَى الْمِنْبَرِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ أَنْ يَبْتَدِئَ الإِمَامُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ وَهُوَ قَائِمٌ عَلَى الْمِنْبَرِ بِتِسْعِ تَكْبِيرَاتٍ تَتْرَى لاَ يَفْصِلُ بَيْنَهَا بِكَلاَمٍ ، ثُمَّ يَخْطُبُ ، ثُمَّ يَجْلِسُ جَلْسَةً ثُمَّ يَقُومُ فِى الْخُطْبَةِ الثَّانِيَةِ فَيَفْتَتِحُهَا بِسَبْعِ تَكْبِيرَاتٍ تَتْرَى لاَ يَفْصِلُ بَيْنَهَا بِكَلاَمٍ ثُمَّ يَخْطُبُ

Bersumber dari ‘Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Utbah , dia berkata : Menurut Sunnah , membaca takbir pada Hari Raya Adh-ha dan Hari Raya Fithri di atas mimbar adalah sebelum khutbah.
Hendaknya imam memulai khutbahnya dengan berdiri di atas mimbar membaca 9 takbir dengan berturut turut yang tidak diselingi dengan pembicaraan, kemudian dia berkhutbah. Kemudian dia duduk 1 kali , kemudian berdiri lagi pada khutbah yang ke 2, lalu dia memulainya dengan membaca 7 takbir  dengan berturut turut yang tidak diselingi dengan pembicaraan, kemudian dia berkhutbah

Riwayat Al Baihaqi dalam As Sunanul Kubra Kitabu Shalatil Iedain bab 24 no 6012
Ubaidillah adalah seorang dari tabi’in yang tidak pernah menerima hadits dari Nabi saw. Maka riwayat tersebut adalah mursal ( dha’if )


B)  Yang mengawali khutbah Ied dengan membaca hamdalah   

Menurut imam Ibnul Qayyim, semua khutbah adalah dimulai dengan hamdalah ( puji pujian kepada Allah ).

Karena tidak ada hadits shahih yang membedakan khutbah Ied dengan yang lainnya, maka awal dari khutbah Ied dikembalikan kepada asalnya yaitu dengan membaca hamdalah

( Kitab Shalatul Mukmin jilid 2 halaman 876 )
Lihat juga : Kitab Shahih Fiqih Sunnah jilid 1halaman 608


Oleh: Ustadz Mubarak Abdul Rahim

APA YANG HARUS DILAKUKAN SAAT DALAM SHOLAT ADA MAKMUM MENINGGALKAN SHAF KARENA BATAL WUDHUNYA

05.31
Jika ada seorang makmum meninggalkan shaf karena batal wudhu atau karena sebab lainnya, maka makmum yang berada di sebelahnya harus merapat kepadanya.
Yang mesti bergerak merapat adalah yang lebih jauh dari posisi imam, menuju ke makmum yang lebih dekat kepada imam.ini di karenakan  :

1. Asal mula shaf adalah di belakang imam, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
2. Adanya perintah untuk menutup celah yang tidak rapat.
3. Adanya larangan membiarkan shaf terputus

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ ... فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِيُصَلِّىَ ... ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخَذَ بِيَدِى فَأَدَارَنِى حَتَّى أَقَامَنِى عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ

Bersumber dari Jabir bin Abdullah r.a …….  Kemudian Rasulullah saw berdiri melakukan shalat …… Kemudian aku datang dan berdiri di samping kiri Rasulullah saw.
Maka beliau saw memegang tanganku , dan mengedarkanku (menarikku) sehingga memposisikan aku berdiri di sebelah kanannya. Kemudian datanglah Jabbar bin Shakhar r.a , dia berwudhu lalu datang dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah saw.
Lalu Rasulullah saw memegang kedua tangan kami , lalu beliau saw mendorong kami sehingga BELIAU SAW MEMPOSISIKAN KAMI BERDIRI DI BELAKANGNYA


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَقِيمُوا الصُّفُوفَ فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلاَئِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا فِى أَيْدِى إِخْوَانِكُمْ وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ »
قَالَ أَبُو دَاوُدَ أَبُو شَجَرَةَ كَثِيرُ بْنُ مُرَّةَ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ وَمَعْنَى « وَلِينُوا بِأَيْدِى إِخْوَانِكُمْ ». إِذَا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى الصَّفِّ فَذَهَبَ يَدْخُلُ فِيهِ فَيَنْبَغِى أَنْ يُلَيِّنَ لَهُ كُلُّ رَجُلٍ مَنْكِبَيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ فِى الصَّفِّ
قال الشيخ الألباني : صحيح
تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده صحيح

Bersumber dari Ibnu Umar r.a , Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda :
Luruskanlah shaf  kalian . Hendaknya kalian berbaris seperti barisan para Malaikat. Sejajarkan antara bahu dan tutuplah celah yang kosong. Lunakkanlah (tangan kalian) terhadap tangan saudara kalian (yang berdampingan).
Dan janganlah kalian membiarkan celah barisan untuk (ditempati) syaithan.
Barangsiapa yang menyambung barisan , maka Allah akan menyambungnya.
Dan barangsiapa yang memutuskan barisan maka Allah akan memutuskannya.

Hadits shahih riwayat Abu Dawud Kitabush Shalah bab 96 no 666
Ahmad 2/97 no.5691 (ini adalah lafadznya)


Penjelasan :
Yang dimaksud merapatkan shaf dalam shalat adalah : Bahu seseorang rapat dengan bahu saudaranya yang di sebelahnya , dan mata kakinya rapat dengan mata kaki saudara yang ada di sebelahnya (di kanan dan kirinya).

Sedangkan shaf yang tidak rapat adalah : adanya jarak diantara 2 orang makmum yang saling berdampingan.

Jika seorang makmum melihat keadaan ini , dia diperintahkan untuk bergeser ke kiri atau ke kanan untuk merapatkannya.

Jika dia berada di belakang shaf yang lowong , maka dia diperintahkan untuk maju ke depan , masuk ke dalamnya , sehingga shaf yang lowong tadi menjadi rapat.

Inilah makna kalimat “ tutuplah celah yang kosong”.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالأَعْنَاقِ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنِّى لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ
قال الشيخ الألباني : صحيح
تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده صحيح على شرط مسلم رجاله ثقات رجال الشيخين غير أبان - وهو ابن يزيد العطار - فمن رجال مسلم وروى له البخاري تعليقا

Bersumber dariAnas bin Malik r.a dari Nabi saw yang bersabda :
Rapatkanlah barisan kalian dan dekatkanlah jaraknya serta luruskanlah antar leher.
Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya , sesungguhnya aku melihat syaithan masuk diantara celah shaf seperti seekor kambing kecil.

Hadits shahih riwayat Abu Dawud Kitabush Shalah bab 96 no 667
Ahmad 3/260 no. 13324

Penjelasan :
Shaf yang tidak rapat berpotensi :
1.    Syaithan akan masuk diantara celah shaf.
2.   Orang yang memutuskan shaf (enggan merapatkannya) diancam akan diputus oleh Allah swt dari rahmat dan pertolongan-Nya


Kalimat “Dan janganlah kalian membiarkan celah shaf untuk (ditempati) syaithan” maknanya adalah : janganlah kalian memberi kesempatan syaithan untuk merusak shalat kalian, karena syaithan akan senantiasa melakukannya dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah menemani kalian di dalam shalat kalian , karena kalian telah menyediakan tempat untuknya , yaitu shaf yang tidak rapat diantara kalian.

Shaf yang tidak rapat sangat dicela. Disamping shalatnya menjadi tidak sempurna , shaf tersebut akan diisi oleh syaithan. Sehingga makmum yang berada di dalam shaf yang tidak rapat tersebut akan berdiri sejajar dengan syaithan. Betapa jeleknya keadaan shaf yang seperti ini.

Kalimat “Barangsiapa yang menyambung shaf , maka Allah akan menyambungnya” maknanya : Allah akan menyambung rahmat-Nya untuk hamba-Nya

Kalimat “Barangsiapa yang memutuskan shaf maka Allah akan memutuskannya” maknanya : Allah akan memutuskan rahmat dan pertolongan-Nya

Lihat :  Kitab ‘Aunul Ma’buud , syarah terhadap Kitab Sunan Abi Dawud jilid 2 halaman 258 Kitabush Shalah bab 93 hadits no 662

Oleh : Ustadz Mubarak Abdul Rahim

Jumat, 26 Agustus 2016

APA YANG DIMAKSUD DENGAN MEMINTA IMBALAN SECARA TERSELUBUNG DALAM ACARA WALIMAH NIKAH

14.46
Maksudnya : 
Seseorang yang mengundang makan saudaranya dalam acara walimah nikah , dia tidak boleh meminta imbalan baik secara terang terangan maupun secara terselubung, Karena mengundang makan seorang Muslim dengan tujuan memberi makan kepadanya secara gratis , membuat saudaranya terkena kewajiban menghadirinya.

Dari hukum wajib tersebut , yang dapat saya fikirkan adalah Seorang Muslim wajib menghadiri undangan makan saudaranya , karena menghargai niat baik saudaranya yang ingin melakukan kebaikan, yaitu mengundang makan secara gratis. Jadi , kebaikan dan keikhlasan dibalas dengan kebaikan dan keikhlasan juga.

Rasulullah saw juga melarang undangan makan hanya dibatasi untuk orang kaya saja. Ini membuktikan bahwa undangan makan memang diniatkan gratis sejak awal :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا وَيُدْعَى إِلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Bersumber dari Abu Hurairah r.a , sesungguhnya Nabi saw bersabda :
Seburuk-buruk makanan adalah makanan pada jamuan makan , yang mana , orang yang ingin menghadirinya tidak diundang . Sedangkan orang yang enggan mendatanginya malah diundang. Dan barangsiapa yang tidak memenuhi undangan maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul Nya

Hadits shahih riwayat Muslim Kitabun Nikah bab 16 no 1432

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ ، وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ - صلى الله عليه وسلم

Bersumber dari Abu Hurairah r.a , dia berkata :
“ Seburuk-buruk makanan adalah makanan pada jamuan makan, yang mana, yang diundang hanya orang kaya, sedangkan orang miskin ditinggalkan (tidak diundang “)
Dan barangsiapa yang tidak menghadiri undangan maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul Nya saw.

( Shahih riwayat Al Bukhari Kitabun Nikah bab 72 no 5177 )

Yang dimaksud MEMINTA IMBALAN SECARA TERSELUBUNG adalah :
Tidak adanya pemberitahuan sebelumnya bahwa undangan makan tersebut tidak gratis.
Ketika seseorang menghadiri undangan saudaranya , di tempat undangan tersebut telah disiapkan tempat untuk menampung uang atau semisalnya.

Dhahirnya , orang yang mengundang memang sejak awal mengharapkan agar yang diundang memberikan imbalan kepadanya.Ini jelas bukan undangan makan gratis , bukan undangan makan ikhlas untuk mencari ridha Allah.  Bagi saya , ini mirip dengan restaurant.

Bahkan saya mendengar adanya istilah “pelit” yang disandangkan kepada orang yang mengisi amplopnya dengan uang yang tidak banyak.

Dan keluar ekspresi kegembiraan yang luar biasa ketika isi amplopnya besar.

Dan nampak ekspresi kekecewaan ketika amplopnya kosong.

Dan lebih kecewa lagi ketika jumlah seluruh uang yang masuk tidak sesuai harapan.

yang diundang merasa “harus memberikan imbalan” atas makanan yang dimakannya.

Sebagian orang merasa malu jika berpamitan kepada orang yang mengundang , dia tidak memasukkan sesuatu ke dalam wadah yang telah disiapkan di majlis walimah tersebut.

Buktinya , sebagian orang rela berbohong dengan memasukkan amplop kosong.
Yang penting nampak “memasukkan sesuatu”.

Jika berita seperti ini benar adanya , maka saya berpendapat bahwa undangan yang seperti ini hukumnya sudah tidak lagi wajib bagi umat Islam untuk menghadirinya.

Artinya : boleh menghadirinya , dan boleh tidak menghadirinya.

Saya memohon ampun kepada Allah jika yang saya sampaikan ini adalah sebuah kesalahan.

Wallahu A’lam.
Oleh : Ustadz Mubarak Abdul Rahim

TENTANG HIJRAH MENANTI