Kamis, 04 Agustus 2016

HALAL BIHALAL

Yang dimaksud adalah : mengadakan pertemuan yang dikaitkan dengan hari Raya Fithri.

UMUM :

Perkara yang bukan merupakan ajaran Nabi saw, tetapi sering disangka sebagai perintah agama.

-    Ziarah qubur yang dikhususkan pada akhir bulan Ramadhan atau pada tanggal 1 syawal setelah selesai dari shalat Ied. Sesungguhnya ziarah qubur diperintahkan pada hari apa saja. Tidak didapati perintah agama agar melakukan ziarah qubur pada hari tertentu.

-    Mengadakan acara yang disebut sebagai “ halal bi halal “ dengan arti : berkumpul dengan orang banyak disertai dengan susunan acara , makan makan dsb, kemudian bersalam salaman , terkadang antara laki laki dan wanita yang bukan mahram. Berjabat tangan antara laki laki dan wanita yang bukan mahram hukumnya haram.

-    Berma’af  ma’afan khusus pada Hari raya Fithri. Islam mengajarkan agar meminta ridha kepada orang yang kita dhalimi segera setelah kita berbuat kesalahan, bukan menunda sampai Hari Raya.

-    Berlebih lebihan dalam membuat atau menyajikan makanan (dalam jumlah banyak) yang terkadang untuk pajangan saja. Tidak jarang harus dibuang karena tidak ada yang memakannya sehingga makanan tersebut menjadi rusak.

-    Memberikan ucapan selamat pada Hari Raya dengan kalimat yang tidak diketahui asal usulnya. Yang diajarkan dalam agama adalah : Taqabbalallaahu minnaa wa minka.

Karena kalimat tersebut diucapkan oleh para shahabat radhiyallahu ‘anhum ketika mereka berjumpa antara satu dengan yang lainnya pada hari raya.


KHUSUS : TENTANG HALAL BI HALAL

1. Asal usul Halal Bihalal
Asal usul halal bi halal tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti.
Beragam kisah yang muncul tentang asal mula kegiatan yang dinamakan halal bihalal, diantaranya :

1. KISAH ASAL-USUL  HALAL BI HALAL YANG KE 1 :

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, beberapa tahun kemudian , yaitu sekitar tahun 1948 Indonesia dilanda disintegrasi (perpecahan) bangsa.

Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum untuk membicarakan keselamatan bangsa. Di sisi lain, pemberontakan terjadi di mana mana.
Ada pemberontakan PKI di Madiun - Jawa Timur.
Ada pemberontakan DI (Daulah Islamiyah) dan NII (Negara Islam Indonesia) dll.

Maka pada pertengahan bulan Ramadhan tahun 1948 , presiden Soekarno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana untuk dimintai nasehatnya guna mengatasi keadaan politik di Indonesia saat itu yang memang tidak sehat.

KH Wahab memberi saran kepada presiden untuk menyelenggarakan acara silaturrahim, sebab sebentar lagi masuk hari Raya Fithri, di mana umat Islam di Indonesia melakukan kebiasaan silaturrahim pada Hari Raya.

Presiden menjawab : silaturrahim kan sudah biasa, saya ingin istilah yang lain.

KH Wahab berkata : iya , itu gampang. Para elit politik tidak mau bersatu karena mereka saling menyalahkan. Padahal saling menyalahkan kan perbuatan dosa (haram). Supaya mereka tidak berdosa,  maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim ini kita beri nama “ HALAL BI HALAL”

Dari saran KH Wahab tersebut , maka presiden Soekarno mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara guna menghadiri acara silaturrahim yang diberi nama ‘HALAL BI HALAL”.

Akhirnya semua tokoh politik dapat duduk satu meja , sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itu , semua instansi pemerintah senantiasa menyelenggarakan acara halal bi halal yang kemudian diikuti oleh masyarakat luas , terutama qaum Muslimin di pulau Jawa yang dikenal sebagai pengikut para ulama.

Jadi , Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah , sedangkan KH Wahab menggerakkan warga dari bawah.

Maka jadilah Halal bi Halal sebagai kegiatan rutin dan budaya bangsa Indonesia saat Hari Raya Fithri seperti sekarang ini.


2. KISAH ASAL-USUL  HALAL BI HALAL YANG KE 2 :
Dimulai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, atau dikenal dengan Pangeran Sambernyawa, yang ketika itu memimpin Surakarta mengumpulkan para punggawa dan prajurit di balai istana untuk melakukan sungkem kepada Sang Raja dan Permaisuri setelah perayaan Idul Fitri.

Hal ini dilakukan untuk menghemat tenaga dan biaya. Sejak saat itu, kunjungan terhadapi orang yang lebih tua atau berkedudukan lebih tinggi untuk meminta maaf pada perayaan Idul Fitri menjadi tradisi tersendiri.

3. KISAH ASAL-USUL  HALAL BI HALAL YANG KE 3 :
Kata halal bi halal sudah ada sejak tahun 1935-1936. Diceritakan bahwa pada setiap hari Lebaran, ada penjual martabak berkebangsaan India yang berjualan di gerbang Taman Sriwedari, Surakarta.

Ia dibantu oleh seorang pribumi untuk mendorong gerobak dan mengurus api penggorengan. Untuk menarik para pembeli, Si Pembantu tadi berteriak-teriak, “Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal!” Kemudian anak-anak menirukan ucapannya dengan “halal behalal”. Sejak saat itu, istilah halal behalal menjadi populer di kalangan masyarakat di Surakarta.

4. KISAH ASAL-USUL  HALAL BI HALAL YANG KE 4 :

Kata halal bi halal berawal dari keterbatasan bangsa Indonesia dalam berbahasa Arab ketika menunaikan ibadah haji. Ketika terjadi tawar-menawar harga barang, jamaah Indonesia hanya berkata “halal?”. Lalu ketika penjual berkata “halal”, maka transaksi disetujui bersama.
Kemudian kalimat ini dibawa pulang ke Indonesia dan diucapkan di mana mana.
Akhirnya kalimat ini digunakan untuk acara saling memaafkan yang selanjutnya berkembang menjadi tradisi  khusus pada Hari Raya Fithri. 

5. Prof  Dr. Quraish Shihab berkata : 
Bahwa halal-bi-halal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab “halala”  yang diapit dengan satu kata penghubung “ba” (dibaca: bi)
Beliau melanjutkan : meskipun kata ini berasal dari bahasa Arab, sejauh yang saya ketahui, masyarakat Arab sendiri tidak akan memahami arti halal-bi-halal yang merupakan hasil kreativitas bangsa Melayu. Halal-bi-halal, tidak lain, adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara. Halal-bi-halal merupakan tradisi khas dan unik bangsa ini.

Dari saya :
Saya tidak menjadikan kalimat prof Quraisy Shihab sebagai rujukan dalam mengambil keputusan, tetapi perkataan beliau saya kutip untuk meramaikan jumlah kutipan saya tentang asal usul “halal-bi-halal.

Saya melihat bahwa : walaupun kata halal-bi-halal berasal dari suku kata Arab, tetapi kalimat halal-bi-halal bukan merupakan susunan bahasa Arab.

Sehingga  orang Arab yang aslinya berbahasa Arab dan lahir di negara Arab serta belajar di Arab sampai jenjang yang tertinggi (S-3 atau Doktor) , tidak akan mengerti ketika kita sodorkan kalimat halal-bi-halal kepadanya.

Hal ini tidak sulit difahami.

Sebagai contoh :

Kalau ada orang asing bertanya kepada kita , apakah makna dari kalimat : baju minum lemari. Maka walaupun kita bergelar Prof Doktor atau gelar lainnya , tidak akan faham makna ini.

Walaupun kita asli Indonesia. Walaupun 3 suku kata ini berasal dari kata Indonesia. Kenapa ? Jawabnya : karena kalimat “baju minum lemari’ bukan susunan kalimat dalam bahasa Indonesia.

Demikian juga halnya dengan kalimat “halal-bi-halal” yang mana orang Arab yang berpendidikan tinggi sekalipun tidak akan faham makna kalimat ini.

Tetapi yang mengejutkan : orang Indonesia , yang bahkan tidak mengerti bahasa Arab sama sekali, ternyata faham makna halal-bi-halal ini.

Ini menunjukkan bahwa : halal bi halal bukan susunan kalimat Arab, tetapi susunan bahasa Indonesia yang diambil dari perbendaharaan kata Arab.


Soal : Kenapa kok susah payah untuk “melacak” asal mula kalimat ini ?

Jawab : Karena untuk mengetahui apakah halal-bi-halal berasal dari ajaran Islam atau sebuah budaya (adat).

Karena yang mengerti makna kalimat halal-bi-halal ini hanya bangsa Indonesia , maka tidak syak lagi bahwa : halal-bi-halal adalah 100% adat istiadat bangsa Indonesia.

Bukan perintah agama.

Maka mengadakannya tidak mendapat pahala. Dan meninggalkannya tidak akan tercela dipandang dari sisi hukum Islam.

Soal : Bagaimana hukum mengadakannya ?
Jawab : Karena halal-bi-halal adalah kegiatan adat , maka boleh saja dilakukan. Sebagaimana pertemuan atau kegiatan adat lainnya , seperti rapat , arisan RT dll, dengan syarat :

1. Tidak ada keyaqinan bahwa halal-bi-halal adalah kegiatan keagamaan yang akan diberikan pahala sekian atau sekian. Dan merasa ‘berdosa” jika tidak mengadakannya.
-  Tidak boleh mencela orang yang tidak mengadakan acara ini, seakan dia adalah bagian dari aliran yang menyimpang.

2. Tidak ada pelanggaran agama dalam kegiatan tersebut, seperti bersentuhan antara laki dan perempuan,  apapun bentuknya : misalnya jabat tangan atau berpelukan , saling tempel pipi dll.

3. Tidak ada perbuatan mubadzdzir , yaitu mengeluarkan harta atau biaya yang banyak tapi terbuang sia sia. Seperti membuat makanan yang banyak tetapi tidak termakan.

4. Memprioritaskan orang kaya , sedangkan orang miskin tidak diundang. Maka jadilah acara tersebut sebagai acara orang kaya. Bukan lagi halal-bi-halal.
Tapi “kumpulan orang kaya anti orang miskin”

5. Meremehkan shalat dengan alasan acara belum selesai. Atau takut rias wajahnya luntur kena air

Dll.

Wallahu A’lam.
Oleh : Ustadz Mubarak Abdul Rahim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TENTANG HIJRAH MENANTI