Sabtu, 17 September 2016

HUKUM SHOLAT BERJAMAAH DI MASJID BAGI LAKI LAKI (Bagian 3)

15.22

3. YANG BERPENDAPAT BAHWA SHALAT BERJAMA’AH HUKUMNYA ADALAH SUNNAH MU’AKKAD (SANGAT DIANJURKAN)

Ini adalah pendapat shahabat imam Hanafi , shahabat imam Malik , shahabat imam Syafi’i , dan salah satu riwayat dari imam Ahmad

( Lihat : Kitab Shalatul Mukmin jilid 1 halaman 410 )

Dan inilah yang saya pilih.

Maksudnya : Shalat berjama’ah sangat dinjurkan , tetapi hukumnya tidak wajib.

Jika dalam suatu kaum terdapat banyak laki laki , maka mereka tidak berdosa walaupun tidak ada yang melakukan shalat berjama’ah. 
Shalat mereka tetap sah walaupun dilakukan di rumah masing masing

Hanya saja mereka telah kehilangan keutamaan yang banyak
Pendapat seperti ini didasarkan kepada pemahaman ( gabungan ) banyak hadits :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ أَحَدِكُمْ وَحْدَهُ بِخَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا

Bersumber dari Abu Hurairah r.a , sesungguhnya Rasulullah saw bersabda :
Shalat berjama’ah lebih utama 25 kali bagian dari shalatnya seseorang diantara kalian yang dilakukan  sendirian
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabul Masaajid bab 42 no 639

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً 

Bersumber dari Ibnu Umar r.a , sesungguhnya Rasulullah saw bersabda :
Shalat berjama’ah lebih utama 27 derajat dibanding dengan shalat sendirian 
Shahih Al Bukhari Kitabul Adzaan bab Fadhlu Shalaatil Jamaa’ah no 645
Shahih Muslim Kitabul Masaajid  bab (42) Fadhlu Shalaatil Jamaa’ah no 650 ( Ini adalah lafadznya )

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « صَلاَةُ الْجَمِيعِ تَزِيدُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ ، وَصَلاَتِهِ فِى سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً 

Bersumber dari Abu Hurairah r.a dari Nabi saw yang bersabda :
Shalat berjama’ah lebih utama 25 derajat daripada shalatnya seseorang yang dilakukan di rumahnya atau di pasarnya
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabush Shalah bab 87 no 477 ( ini lafadznya )
Muslim Kitabul Masaajid bab 49 no 649

Penjelasan :
Kalimat “ shalat berjama’ah lebih utama dari shalat sendirian “ difahami bahwa shalat sendirian juga sah dan diperbolehkan. 
Hanya saja , shalat yang dilakukan dengan berjama’ah lebih utama 27 derajat.

Kalau shalat sendirian diperbolehkan , maka hukum berjama’ah adalah bersifat anjuran , bukan sebagai kewajiban. Sehingga seseorang tidak berdosa walaupun dia melakukan shalat sendirian di rumahnya atau di tempat lainnya.

Tentang hadits yang menyatakan bahwa Nabi saw sangat ingin membakar rumah orang yang tidak hadir shalat berjama’ah , tidak dapat diartikan bahwa shalat berjama’ah adalah wajib. Karena kenyataannya Nabi saw tidak pernah membakar rumah orang yang tidak hadir dalam shalat berjama’ah.

Maknanya : 
Nabi saw ingin menunjukkan kepada ummatnya bahwa orang yang tidak hadir shalat berjama’ah di masjid adalah tercela dan berada di dalam kerugian besar. Karena amalan tersebut sangat membantu keselamatan hari akhiratnya. Ketika seseorang mengetahui keutamaan shalat berjama’ah di masjid kemudian dia tidak menghadirinya , maka orang ini dianggap meremehkan janji Allah , tidak berusaha menggapainya selayaknya orang yang beriman.

Ringkasnya : 
makna yang tepat bagi hadits tersebut adalah : Orang yang tidak hadir dalam shalat berjama’ah sangat dicela , tetapi dia tidak berdosa.
Dia tercela karena tidak mau hadir untuk mendapatkan keutamaan yang sangat besar yang disediakan oleh Allah swt

Imam Nawawi juga menyebutkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa shalat dengan cara berjama’ah hukumnya adalah sunnah
( Lihat : Syarah Muslim oleh imam Nawawi dalam Kitabul Masaajid bab 49 no 649 )

Dari saya : 
Inilah yang saya pilih : bahwa hukum berjama’ah dalam shalat fardhu adalah sunnah muakkad ( sangat dianjurkan ).

Wallahu A’lam

BERSAMBUNG...

HUKUM SHOLAT BERJAMAAH DI MASJID BAGI LAKI LAKI (Bagian 2)

15.20

 
2. YANG BERPENDAPAT BAHWA HUKUM SHALAT BERJAMA’AH ADALAH FARDHU KIFAYAH  ( KEWAJIBAN BERSAMA )

Ini adalah pendapat imam Asy Syafi’i , dan sebagian pengikut madzhab Hanbali , sebagian pengikut madzhab Maliki dan yang sefaham dengannya serta yang dipilih oleh imam Nawawi. 

Lihat : 

Kitab Tuhfatul Ahwadzi , Syarah terhadap Kitab sunan Tirmidzi jilid 1 halaman 458 Kitabush Shalah bab 162 no 217 

Pendapat ini mengatakan bahwa : Jika suatu kaum sudah ada yang melakukan shalat berjama’ah , maka telah gugur kewajiban umat Islam lainnya dalam melaksanakan shalat berjama’ah di tempat tersebut.

Maksudnya : jika sudah ada beberapa orang yang melakukan shalat berjama’ah , maka kalau ada yang melakukan shalat sendirian di rumahnya , shalatnya tetap sah dan dia tidak berdosa.

Tetapi kalau pada suatu kaum terdapat beberapa laki laki dan tidak didirikan shalat berjama’ah, maka seluruh laki laki dalam kaum tersebut berdosa , walaupun shalatnya sah dilakukan di rumahnya.

Dasarnya : 
Penggabungan hadits tentang diakuinya keberadaan shalat yang dilakukan dengan sendirian dan hadits tentang dicelanya orang yang tidak hadir shalat berjama’ah.

1. Adanya hadits tentang diakuinya shalat sendirian

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ أَحَدِكُمْ وَحْدَهُ بِخَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا

Bersumber dari Abu Hurairah r.a , sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : Shalat berjama’ah lebih utama 25 bagian dibandingkan dengan shalatnya seseorang yang dilakukan dengan sendirian 
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabul Masaajid bab 42 no 639

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً 

Bersumber dari Ibnu Umar r.a , sesungguhnya Rasulullah saw bersabda :
Shalat berjama’ah lebih utama 27 derajat dibanding dengan shalat sendirian 
Shahih Al Bukhari Kitabul Adzaan bab Fadhlu Shalaatil Jamaa’ah no 645
Shahih Muslim Kitabul Masaajid  bab (42) Fadhlu Shalaatil Jamaa’ah no 650 ( Ini adalah lafadznya )

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « صَلاَةُ الْجَمِيعِ تَزِيدُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ ، وَصَلاَتِهِ فِى سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً 

Bersumber dari Abu Hurairah r.a dari Nabi saw yang bersabda :
Shalat berjama’ah lebih utama 25 derajat daripada shalatnya seseorang yang dilakukan di rumahnya atau di pasarnya
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabush Shalah bab 87 no 477( ini adalah lafadznya )
Muslim Kitabul Masaajid bab 49 no 649

Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalaani berkata : 

Berjama’ah bukan menjadi syarat sahnya shalat karena adanya sabda Nabi saw : 
“ dibanding shalatnya sendirian “ yang menunjukkan bahwa shalat yang dilakukan sendirian adalah sah.

Dan juga adanya susunan kalimat : “ lebih (utama ) “ yang berarti keduanya ( sendirian atau berjama’ah ) berserikat di dalam keutamaan ( sama sama memiliki keutamaan ). 
Ini berarti shalat sendirian juga memiliki keutamaan , sedangkan sesuatu yang tidak sah tidak memiliki keutamaan apapun.

Imam Nawawi berkata : 

Berdasarkan hadits hadits tersebut maka shahabat shahabat kami dan jumhur (ulama) berpendapat bahwa berjama’ah bukan merupakan sahnya shalat.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat Dawud. 

Bahkan hukum shalat berjama’ah bukan fardhu ‘ain . Hal ini berbeda dengan pendapat sekelompok ulama (yang mengatakan hukumnya fardhu ‘ain)

Pendapat yang dipilih :  

Hukum shalat berjama’ah adalah fardhu kifayah 
Ada juga yang berkata bahwa hukumnya adalah sunnah

Lihat : 

- Kitab Fat-hul Baari, syarah Shahih Al Bukhari jilid 3 halaman 173 Kitabul Adzan bab no 647
- Syarah Muslim oleh Imam Nawawi jilid 5 halaman 53 Kitabul Masajid bab 42 no 639 

Wallahu A’lam

2. Adanya hadits tentang dicelanya orang yang tidak menghadiri shalat berjama’ah

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ ، وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ لَشَهِدَ الْعِشَاءَ

Bersumber dari Abu Hurairah r.a , sesungguhnya Rasulullah saw bersabda :    
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya , aku benar benar ingin memerintahkan (seseorang) agar mengumpulkan kayu bakar, lalu aku perintahkan agar shalat didirikan dan dikumandangkan adzan untuknya , lalu aku perintahkan seseorang untuk mengimami orang orang. Lalu aku pergi mendatangi laki laki (yang tidak ikut shalat berjama’ah), untuk membakar rumah mereka.
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Adzan bab 29 no 644 ( ini adalah lafadznya )
Muslim Kitabl Masajid bab 42 no 651

Penjelasan :
1. Dari hadits hadits tentang keutamaan shalat berjama’ah disebutkan bahwa shalat berjama’ah lebih utama daripada shalat sendirian. 

Kalimat “lebih utama daripada shalat sendirian” difahami bahwa shalat sendirian juga diakui dan dibenarkan. Jika diartikan bahwa shalat sendirian adalah berdosa , maka tidak ada manfa’atnya kalimat “ lebih utama dari shalat sendirian “.

Karena kalimat di dalam hadits tersebut untuk perbandingan keutamaan , bukan meniadakan salah satunya.

Bahkan dalam redaksi lain disebutkan dengan jelas masalah tempat shalat , yaitu :
“shalat berjama’ah lebih utama dari shalatnya seseorang di rumahnya atau di pasarnya”.

Maknanya : Shalatnya seseorang ( sendirian ) di rumahnya juga sah , demikian juga di pasarnya.


2. Dari hadits tentang keinginan Nabi saw untuk membakar rumah bagi yang tidak menghadiri shalat berjama’ah, maka disimpulkan bahwa shalat berjama’ah merupakan kewajiban yang keras. Hanya saja tidak didapati sabda Nabi saw yang menyatakan bahwa yang tidak hadir shalat berjama’ah diancam dengan siksa akhirat. Tidak juga didapati hadits yang menyatakan bahwa dia berdosa karena tidak hadir shalat berjama’ah.

Sedangkan shalat berjama’ah senantiasa dilakukan oleh Nabi saw dengan cara berjama’ah dimasjid.

Maka difahami bahwa shalatnya beberapa shahabat di rumahnya pada sa’at itu adalah sah dan dia tidak berdosa lantaran shalat berjama’ah telah didirikan di masjid oleh shahabat lainnya.

Sehingga difahami bahwa shalat berjama’ah hukumnya adalah fardhu kifayah (kewajiban bersama)

Ringkasnya : 
Hukum shalat berjama’ah hukumnya fardhu kifayah (kewajiban bersama)

BERSAMBUNG...

HUKUM SHOLAT BERJAMAAH DI MASJID BAGI LAKI LAKI

15.18
Hukum shalat 5 waktu adalah wajib (fardhu ‘ain) bagi setiap Muslim.
Tidak ada khilafiyah sedikitpun di dalamnya.

Sedangkan hukum melaksanakan shalat 5 waktu dengan cara berjama’ah di masjid BAGI LAKI LAKI MUSLIM, umat Islam berbeda pendapat, sekurangnya ada 4 pendapat, Dari pendapat yang banyak tersebut , tidak ada satupun yang memandang baik untuk melakukan shalat di rumah bagi laki laki Muslim.

Kita bahas masing masing pendapat dengan alasannya :

HUKUM SHALAT BERJAMA’AH DI MASJID BAGI LAKI LAKI :

Hukum shalat berjama’ah di masjid bagi laki laki diperselisihkan umat Islam :

1. Ada yang berpendapat hukumnya fardhu ‘ain
2. Ada yang berpendapat hukumnya fardhu kifayah
3. Ada yang berpendapat hukumnya sunnah muakkad (sangat dianjurkan)
4. Ada yang berpendapat bahwa berjama’ah adalah syarat sahnya shalat


1. YANG BERPENDAPAT BAHWA HUKUM SHALAT BERJAMA’AH ADALAH FARDHU ’AIN ( KEWAJIBAN PERORANGAN )

Maksudnya Jika seseorang melakukan shalat sendirian di rumahnya , hukum shalatnya tetap sah tetapi dia berdosa karena tidak hadir dalam shalat berjama’ah.

Ini adalah pendapat imam Ahmad , Atha’ , Auza’i dan yang sefaham dengannya
Juga menjadi pendapat beberapa ulama ahli hadits :  Abu Tsaur , Ibnu Khuzaimah , Ibnul Mundzir , Ibnu Hibban

Lihat :
Kitab Shalatul Mukmin jilid 1 halaman 410
Tuhfatul Ahwadzi Syarah terhadap kitab sunan At Tirmidzi  jilid 1 halaman 458 Kitabush Shalah bab 162 no 217

Dasarnya :

A) ADANYA PERINTAH MENGERJAKAN SHALAT DENGAN CARA BERJAMA’AH SEKALIPUN DI DALAM SUASANA PERANG

Allah swt berfirman :

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.
Al Qur’an surah An Nisa’ ayat 102

PENJELASAN :
Ayat di atas menggambarkan cara melakukan shalat ketika dalam suasana perang.
Dalam ayat tersebut terkandung pelajaran bahwa : sekalipun di dalam suasana perang , Allah tetap mensyari’atkan agar umat Islam melakukan shalat dengan cara berjama’ah.
Dan perintah berjama’ah ini adalah untuk semua laki laki yang ikut berperang , bukan sebagian saja.

Maka shalat berjama’ah adalah fardhu ‘ain (kewajiban perorangan) bagi laki laki.

Sedangkan tempat pelaksanaan shalat berjama’ah ketika suasana aman (tidak dalam keadaan perang) adalah di masjid.

Hal ini diterangkan oleh Nabi saw dengan perbuatan maupun sabdanya.
Yaitu : Nabi saw senantiasa shalat berjama’ah di masjid dan mengecam laki laki Muslim yang tidak menghadiri shalat berjama’ah di masjid

Lihat : beberapa hadits pada pembahasan selanjutnya.

B) ADANYA PERINTAH SECARA UMUM UNTUK MENGERJAKAN SHALAT DENGAN CARA BERJAMA’AH

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.
Al Qur’an surah Al Baqarah ayat 43

PENJELASAN :
Ayat ini menggambarkan cara melakukan shalat , yaitu umat Islam agar melakukan shalat dengan cara berjama’ah. Yang dimaksud orang Islam adalah semuanya , bukan sebagian saja.Kemudian Nabi saw memberikan penjelasan , bahwa perintah untuk menunaikan shalat berjama’ah adalah dikhususkan untuk laki laki. Sedangkan kaum wanita lebih baik mengerjakan shalat di rumahnya.

Maka shalat berjama’ah adalah fardhu ‘ain (kewajiban perorangan) bagi laki laki.

Ayat ini tidak membicarakan masjid , tetapi Nabi saw menjelaskan dengan perbuatan dan sabdanya , bahwa tempat melaksanakan shalat berjama’ah adalah di masjid.
Yaitu : Nabi saw senantiasa shalat berjama’ah di masjid dan mengecam laki laki Muslim yang tidak menghadiri shalat berjama’ah di masjid.

(Lihat beberapa hadits pada pembahasan berikut)

C. ADANYA KEINGINAN DARI NABI SAW UNTUK MEMBAKAR RUMAH ORANG YANG TIDAK HADIR SHALAT BERJAMA’AH

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ

Bersumber dari Abu Hurairah r.a , sesungguhnya Rasulullah saw bersabda :
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya , aku benar benar ingin memerintahkan (seseorang) agar mengumpulkan kayu bakar, lalu aku perintahkan agar shalat didirikan dan dikumandangkan adzan untuknya , lalu aku perintahkan seseorang untuk mengimami orang orang. Lalu aku pergi mendatangi laki laki (yang tidak ikut shalat berjama’ah), untuk membakar rumah mereka.
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Adzan bab 29 no 644 ( ini adalah lafadznya )
Muslim Kitabul Masajid bab 42 no 651

PENJELASAN :
Membakar rumah orang adalah perbuatan dosa. Tidak mungkin Nabi saw berkeinginan membakar rumah orang seandainya pemilik rumah tersebut tidak melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban agama.
Sedangkan keinginan Nabi saw untuk membakar rumah tersebut dikaitkannya dengan tidak hadirnya orang tersebut ke masjid untuk shalat berjama’ah.

Di sisi lain , ada keinginan Nabi saw untuk mewakilkan imam shalat kepada orang lain , lalu Nabi saw mendatangi rumah laki laki yang tidak hadir shalat berjama’ah.
Berarti shalat berjama’ah sudah didirikan , tetapi laki laki yang tidak menghadirinya tetap dianggap salah

Maka difahami bahwa shalat berjama’ah di masjid hukumnya adalah fardhu ‘ain
( kewajiban perseorangan ).
Seandainya shalat berjama’ah adalah fardhu kifayah , maka keberadaan shalat berjama’ah yang dilakukan beberapa orang sudah mencukupi. Kenyatannya Nabi saw tetap menyalahkan orang yang tidak menghadiri shalat berjama’ah tersebut.

Maka shalat berjama’ah di masjid adalah fardhu ‘ain (kewajiban perorangan).

D. NABI SAW MEMERINTAHKAN ORANG BUTA UNTUK SHALAT BERJAMA’AH DI MASJID

عَنِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ شَاسِعُ الدَّارِ وَلِى قَائِدٌ لاَ يُلاَئِمُنِى فَهَلْ لِى رُخْصَةٌ أَنْ أُصَلِّىَ فِى بَيْتِى قَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « لاَ أَجِدُ لَكَ رُخْصَةً
قال الشيخ الألباني : حسن صحيح
تعليق شعيب الأرنؤوط : حديث صحيح لغيره وهذا إسناد ضعيف لانقطاعه أبو رزين - وهو مسعود بن مالك الأسدي - لم يسمع من ابن أم مكتوم

Bersumber dari Ibnu Ummi Maktum r.a , sesungguhnya dia bertanya kepada Nabi saw. Dia berkata : Wahai Rasulullah , sesungguhnya aku ini adalah seorang laki laki yang buta dan bertempat tinggal jauh ( dari masjid ) dan aku memiliki penuntun jalan yang tidak sesuai denganku. Apakah aku mendapatkan keringanan untuk shalat di rumah ?
Nabi saw bertanya : Apakah engkau mendengar seruan adzan ?
Dia menjawab : Iya
Nabi saw bersabda : Aku tidak mendapati adanya keringanan buatmu
Hadits hasan shahih riwayat Abu Dawud Kitabush Shalah bab 47 no 552 ( ini lafadznya )
Ibnu Majah Kitabul Masajid bab 17 no 792
Ahmad 3/423 no 15064

PENJELASAN :
Ibnu Ummi Maktum r.a adalah seorang yang sudah tua , buta , rumahnya jauh dari masjid dan tidak memiliki penuntun jalan. Keadaan yang dimiliki oleh beliau sudah sangat cukup untuk mendapatkan keringanan dalam agama , yaitu melakukan shalat di rumah.
Tetapi Nabi saw tidak memberikan keringanan tersebut kepadanya.
Tidak ada pemahaman lain dalam hal ini kecuali satu pengertian :

HUKUM SHALAT BERJAMA’AH DI MASJID ADALAH FARDHU ’AIN (KEWAJIBAN PERSEORANGAN)
Seandainya shalat berjama’ah adalah fardhu kifayah , maka adanya shalat berjama’ah yang telah dilakukan sudah cukup menggugurkan kewajiban orang buta tersebut untuk hadir di masjid. Tetapi kenyatannya tidak demikian. Dia tetap diperintahkan menghadirinya.

BERSAMBUNG...

HUKUM SHOLAT BERJAMAAH DI MASJID BAGI LAKI LAKI (Bagian 4)

15.16
4. SHALAT BERJAMA’AH ADALAH FARDHU ‘AIN DAN SYARAT SAHNYA SHALAT.

Ini adalah pendapat Ibnu Hazm dan yang sependapat dengannnya.
Lihat Kitab :

Shalatul Mukmin jilid 1 halaman 410
Shahih Fiqih Sunnah jilid 1 halaman 505 

Maksudnya : 
Jika seorang laki laki tidak hadir shalat berjama’ah maka dia berdosa. Dan jika dia mengerjakan shalatnya sendirian di rumahnya atau di kantornya dsb , maka shalatnya tidak sah.

Dasarnya : 
Adanya perintah melakukan shalat berjama’ah walaupun dalam keadaan yang sulit

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan 1 rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.
Al Qur’an surah An Nisa’ ayat 102

Penjelasan :

1. Ayat ini menggambarkan cara mengerjakan shalat dalam keadaan perang , yang disebut dengan Shalat Khauf
Ada beberapa hadits yang menggambarkan tatacara shalat khauf yang diajarkan oleh Nabi saw 

Cara shalat khauf  selengkapnya akan dibahas pada bab tentang shalat khauf 

2. Ayat ini difahami bahwa dalam suasana perang sekalipun , Allah swt memerintahkan shalat dilakukan dengan berjama’ah.

Jika shalat berjama’ah hukumnya adalah sunnah , suasana perang sudah menjadi alasan yang tepat untuk tidak melaksanakannya, 
Kenyatannya Allah swt tetap memerintahkan shalat berjama’ah dalam keadaan yang sangat takut tersebut.

Jika shalat berjama’ah adalah fardhu kifayah , maka Allah menggugurkan kewajiban berjama’ah untuk kelompok kedua karena telah dilakukan oleh kelompok pertama.
Kenyataannya Allah swt tetap mewajibkan kelompok kedua untuk melakukan shalat dengan cara berjama’ah

Jika shalat berjama’ah adalah fardhu ‘ain saja , sedangkan shalatnya seseorang dengan sendirian tetap sah dan hanya berdosa jika tidak hadir berjama’ah , maka 
suasana perang sudah cukup sebagai alasan untuk tidak mengerjakan shalat berjama’ah.
Kenyatannya Allah swt tetap memerintahkan shalat berjama’ah dalam keadaan yang sangat takut tersebut.

DARI 4 MACAM PENDAPAT TERSEBUT , YANG SAYA PILIH ADALAH PENDAPAT KE 3 YAITU : HUKUM SHALAT BERJAMA’AH DI MASJID BAGI LAKI LAKI ADALAH SUNNAH MUAKKAD. (ANJURAN KERAS)

Wallahu A’lam.

CABANG PERMASALAHAN : 

JIKA TIDAK DAPAT MELAKUKAN DENGAN BERJAMA’AH ?

Jika dalam suasana takut ( perang , bencana alam dsb ) yang tidak memungkinkan untuk mengerjakan shalat berjama’ah maka Allah mewajibkan shalat tetap dikerjakan walaupun dengan berlari. Tidak pakai ruku’ atau sujud , tetapi hanya berisyarat dengan sedapat dapatnya 

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Al Qur’an surah Al Baqarah ayat 239

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ - رضى الله عنهما - كَانَ إِذَا سُئِلَ عَنْ صَلاَةِ الْخَوْفِ قَالَ ... فَإِنْ كَانَ خَوْفٌ هُوَ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ صَلَّوْا رِجَالاً ، قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ ، أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِى الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيهَا . قَالَ مَالِكٌ قَالَ نَافِعٌ لاَ أُرَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ذَكَرَ ذَلِكَ إِلاَّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم

Bersumber dari Nafi’ , sesungguhnya Ibnu Umar r.a ditanya tentang shalat Khauf,dia menjawab :  ………. Jika keadaan takutnya lebih genting dari itu maka mereka boleh shalat sambil berjalan , berdiri diatas kaki mereka atau berkendaraan , baik itu sambil menghadap Qiblat atau tidak.
Imam Malik berkata : Nafi’ berkata : Ibnu Umar r.a tidak akan berpendapat seperti itu melainkan dari Nabi saw
Shahih riwayat Al Bukhari Kitabut Tafsiir bab 44 no 4535

Penjelasan : 
Imam Malik adalah Malik bin Anas , pendiri madzhab Maliki , dan merupakan guru dari imam Syafi’i dan imam Ahmad bin Hanbal ( Hanbali ). 

Nafi’ adalah seorang dari Tabi’in . Beliau mantan budak dari Ibnu Umar r.a yang telah dimerdekakan , yang kemudian menjadi murid dari Ibnu Umar r.a dan banyak meriwayatkan hadits darinya.

Perkataan  Nafi’ : “ Ibnu Umar r.a tidak akan berpendapat seperti itu melainkan dari Nabi saw ” artinya : Hukum yang ditetapkan oleh Ibnu Umar r.a sebagaimana di dalam riwayat Al Bukhari no 4535 adalah didasarkan kepada pemahaman Ibnu Umar r.a terhadap apa yang diajarkan oleh Nabi saw kepadanya. Sehingga mengamalkannya dianggap mengamalkan sunnah Nabi saw.

Ringkasnya : Jika dalam keadaan genting yang tidak memungkinkan shalat dilakukan sebagaimana biasanya , maka shalat dapat dilakukan sebisanya dengan berjalan , atau berlari , atau naik kendaraan , dengan cara menghadap Qiblat atau tidak menghadap Qiblat. 

Dalam kondisi seperti ini shalat tetap sah walaupun tidak pakai ruku’atau sujud dll.

Wallahu A’lam.   
                   
SYUBHAT :

Yang berpendapat bahwa : bagi laki laki , shalat berjama’ah lebih baik dilakukan di rumah dengan alasan untuk mengajari istri dan anak agar ta’at beribadah .

JAWAB : Pendapat ini memang cocok bagi yang mendasarkan amalan agama kepada aqal semata. 

Pada zaman Rasulullah saw , istri sudah ada. Anak juga sudah ada.
Bahkan Rasulullah saw dan para shahabatnya juga punya istri dan anak.
Perintah untuk mengajari anak dan istri juga sudah ada.
Tetapi Rasulullah saw dan para shahabatnya tidak mengerjakan shalat wajib 5 waktu di rumah. Rasulullah saw dan para shahabatnya mengerjakannya di masjid dengan cara berjama’ah.

Bahkan Rasulullah saw ingin membakar rumah yang di dalamnya ada laki laki dewasa yang tidak hadir ke masjid untuk shalat berjama’ah.
Walaupun peristiwa membakar rumah tidak pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw , hadits tentang bakar rumah tersebut bermakna : laki laki mesti mengerjakan shalat berjama’ah di masjid

Kalau ingin mengajari anak dan istri bisa dengan cara lain, bahkan banyak cara yang dapat dilakukannya tanpa harus menggugurkan perintah agama untuk mendatangi masjid.

Bahkan tidak ada satupun ulama dari 4 madzhab yang berpendapat seperti ini.

SELESAI
Oleh : Ustadz Mubarak Abdul rahim

SETELAH MENGIKUTI SHOLAT JUMAT, APAKAH MASIH WAJIB BAGI WANITA MENGERJAKAN SHOLAT DHUHUR

15.10

Wanita mendapat perlakuan khusus dalam masalah kewajiban Jum’ah .

عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
قَالَ أَبُو دَاوُدَ طَارِقُ بْنُ شِهَابٍ قَدْ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- وَلَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ شَيْئًا
قال الشيخ الألباني : صحيح

Bersumber dari  Thariq bin Syihab r.a dari Nabi saw yang bersabda : 
Jum’ah adalah kewajiban yang keras atas setiap Muslim dengan cara berjama’ah kecuali 4 kelompok :
- Hamba (budak) yang dimiliki orang.
- Atau wanita.
- Atau anak laki laki yang masih kecil.
- Atau laki laki (dewasa) yang sedang sakit.
Hadits riwayat Abu Dawud Kitabush Shalah bab 215 no 1067

Imam Abu Dawud berkata : Bahwa Thariq bin Syihab pernah berjumpa dengan Nabi saw tetapi tidak mendengar hadits dari Nabi saw.

Seakan imam Abu Dawud memberi isyarat bahwa Thariq bin Syihab r.a menerima hadits ini dari orang lainnya yang kita tidak mengetahui siapa orangnya.

Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani

PENJELASAN :
IMAM AL HAFIDZ IBNU HAJAR AL ‘ASQALANI BERKATA :
Jika telah tsabit bahwa Thariq bin Syihab ini adalah seorang shahabat , maka hadits ini adalah mursal shahaabiyyi (mursal dari shahabat). Dan hadits yang seperti ini adalah dapat diterima menurut pendapat yang kuat. 
Lihat : Kitab ‘Aunul Ma’buud , syarah terhadap Kitab Sunan Abi Dawud , Kitabush Shalah bab 215 no 1067

Dari saya :

Saya menguatkan bahwa hadits ini adalah shahih sehingga dapat dijadikan sebagai dalil. 
Berdasarkan hadits ini maka umat Islam berbeda pendapat , sekurangnya ada 2 pendapat :

1. YANG BERPENDAPAT BAHWA HUKUM SHALAT JUM’AH BAGI WANITA ADALAH SUNNAH.

Sehingga  jika dia telah melaksanakan shalat Jum’ah , kewajibannya terhadap shalat dhuhur tidak gugur. Pemahaman seperti ini didasarkan kepada redaksi hadits di atas , bahwa ibadah Jum’ah adalah kewajiban yang keras atas setiap Muslim kecuali 4 kelompok, Maka qaum wanita yang masuk dalam 4 kelompok tersebut dianggap tidak wajib shalat jum’ah.

Karena jum’ah tidak wajib bagi wanita , maka hukumnya jatuh sebagai sunnah. Artinya : jika seorang wanita mengerjakan jum’ah , maka dia dianggap mengerjakan shalat sunnah. Sehingga kewajibannya terhadap shalat dhuhur masih berlaku. 

Jika wanita tersebut tidak mengerjakan shalat jum’ah maka dia tidak berdosa.
Jika wanita mengerjakan Jum’ah maka dia mendapat pahala.

Ringkasnya :  semua wanita tetap wajib shalat dhuhur , baik dia mengerjakan shalat Jum’ah atau tidak.

2. YANG BERPENDAPAT BAHWA HUKUM SHALAT JUM’AH BAGI WANITA ADALAH WAJIB MUKHAYYAR.

Maknanya : kewajiban yang dapat dipilih. Boleh dikerjakan dan boleh tidak.

Artinya : Wanita berkewajiban mengerjakan shalat Jum’ah. Tetap kewajibannya boleh dipilih , antara dikerjakan atau tidak.

Jika wanita mengerjakan shalat Jum’ah , maka kedudukannya sama dengan laki laki lainnya yang mengerjakan shalat Jum’ah. Wanita tersebut dianggap telah mengerjakan kewajiban Jum’ah. Sehingga kewajiban shalat dhuhurnya telah gugur darinya, sebagaimana halnya laki laki

Berangkat dari pemahaman ini maka : 

A) Jika wanita mengerjakan Jum’ah maka tidak boleh lagi mengerjakan shalat dhuhur. Karena Jum’ah adalah pengganti kewajiban shalat dhuhur.
Rasulullah saw menyatakan bahwa shalat yang Allah wajibkan atas hamba-Nya hanya 5 waktu sehari semalam.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa seorang wanita yang mengerjakan jum’ah dianggap telah mengerjakan dhuhur

Di sisi lain , seorang Muslim tidak boleh mengerjakan  1 macam shalat fardhu sebanyak 2 kali dalam sehari semalam.

Didapati adanya hadits bahwa Nabi saw pernah melarang mengerjakan shalat yang sama sebanyak 2 kali dalam sehari.

Maksudnya : Jika seorang Muslim telah mengerjakan shalat dhuhur , maka dia dilarang mengerjakan shalat dhuhur lagi pada hari yang sama. 
Shalat dhuhur berikutnya harus dikerjakan pada besok harinya.

Hadits yang dimaksud adalah :

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ - يَعْنِى مَوْلَى مَيْمُونَةَ - قَالَ أَتَيْتُ ابْنَ عُمَرَ عَلَى الْبَلاَطِ وَهُمْ يُصَلُّونَ فَقُلْتُ أَلاَ تُصَلِّى مَعَهُمْ قَالَ قَدْ صَلَّيْتُ إِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لاَ تُصَلُّوا صَلاَةً فِى يَوْمٍ مَرَّتَيْنِ
قال الشيخ الألباني : حسن صحيح
تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده حسن رجاله ثقات رجال الشيخين غير عمرو بن شعيب
قال الأعظمي : إسناده صحيح

Bersumber dari Sulaiman bin Yasar – yaitu maula (mantan budak) dari Maimunah r.a- dia berkata : Aku mendatangi Ibnu Umar r.a di Al Balaath , sedangkan penduduk setempat sedang melakukan shalat. Maka aku bertanya kepadanya : Apakah engkau tidak ingin melakukan shalat bersama mereka ?
Ibnu Umar r.a menjawab : Aku sudah mengerjakan shalat.
Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda : 
Janganlah kalian melakukan 1 macam shalat sebanyak 2 kali dalam 1 hari.
Hadits hasan shahih riwayat Abu Dawud Kitabush Shalah bab 58 no 579 (ini adalah lafadznya)
Ahmad 2/19 no 4675
Ibnu Khuzaimah Kitabul Imamah bab 137 no 1641.

PENJELASAN :
Al Balaath adalah nama suatu tempat yang terkenal di Madinah.

Jika seorang shahabat besar sekelas Ibnu Umar r.a tidak mau bergabung dengan shalat berjama’ah yang sedang didirikan , maka kita menduga adanya masalah dalam shalat berjama’ah tersebut.

Ternyata Ibnu Umar r.a menjelaskan bahwa dia tidak dibenarkan melakukan shalat lagi karena dia telah mengerjakan shalat serupa di tempat lainnya. Dia berkata bahwa Nabi saw yang memerintahkan demikian.

B) Jika  wanita tidak mengerjakan shalat Jum’ah maka dia wajib melakukan shalat dhuhur, Hal ini tidak sulit difahami , karena jika wanita memilih meninggalkan kewajiban Jum’ahnya maka dia kembali kepada ashalnya , yaitu wajib melaksanakan dhuhur.

KESIMPULAN :
Wanita yang mengerjakan Jum’ah akan masuk kepada khilafiyah yang berat. Karena hukum shalat dhuhurnya diperselisihkan.  Satu pendapat mengatakan wajib shalat dhuhur , sedangkan pendapat yang lainnya mengatakan dilarang shalat dhuhur. 

(Khilafiyah yang bertentangan  antara satu dengan lainnya 180 derajat)

YANG SAYA PILIH :

Sebaiknya wanita tidak mengerjakan shalat Jum’ah, karena :

1. Hal ini adalah rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh Allah kepadanya. Wanita tidak akan berdosa jika meninggalkan shalat Jum’ah.

2. Jika wanita meninggalkan Jum’ah dan hanya melaksanakan shalat dhuhur , maka dia telah terlepas dari kekhawatiran melakukan kesalahan. 
Jika dia melaksanakan Jum’ah maka dia berada di dalam kebimbangan terhadap kewajiban dhuhurnya.

Seandainya dia memilih salah satunya (antara shalat dhuhur atau tidak) peluangnya tetap sama : mungkin benar , mungkin salah .

Sedangkan jika dia tidak melaksanakan Jum’ah , dan melaksanakan dhuhur , maka tidak ada keraguan lagi bahwa dia melaksanakan sesuatu yang benar.

3. Jika dia tidak melaksanakan Jum’ah maka dia telah memberi kesempatan kepada qaum Muslimin  laki laki agar dapat melaksanakan kewajiban jum’ah dengan sebaik baiknya.

Betapa banyak qaum Muslimin laki laki yang tidak mendapat tempat di dalam masjid, dan harus shalat di jalan jalan atau halaman dengan harus kepanasan , karena sebagian dari tempat shalat di masjid dipadati oleh qaum wanita.

Dengan tidak hadirnya wanita di masjid untuk shalat Jum’ah , maka dia telah menghimpun kebaikan yang banyak , diantaranya adalah : melepaskan diri dari khilafiyah , dan memberi kesempatan kepada qaum Muslimin laki laki agar dapat melaksanakan kewajiban Jum’ahnya dengan  sebaik baiknya.

Wallahu A’lam.
Oleh : Ustadz Mubarak Abdul Rahim

KEUTAMAAN IBADAH ANTARA TANGGAL 1-10 BULAN DZULHIJJAH

15.10
Perkara yang ditanyakan adalah berkaitan dengan hadits Nabi saw :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
قال الشيخ الألباني : صحيح
تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده صحيح على شرط الشيخين

Bersumber dari Ibnu Abbas r.a dia berkata : Rasulullah saw bersabda : Tidak ada satupun hari yang mana amal shalih di dalamnya lebih dicintai Allah dibanding dengan beberapa  hari ini - yaitu  10 hari pertama bulan Dzulhijjah- 
Mereka bertanya : Wahai Rasulullah ! Termasuk jihad di jalan Allah ?
Rasulullah saw bersabda : Termasuk jihad di jalan Allah. Kecuali seseorang yang berangkat jihad dengan membawa jiwa dan hartanya , kemudian dia tidak kembali dengan membawa apapun (gugur sebagai syahid). 
Hadits shahih riwayat Abu Dawud Kitabush Shaum bab 61 no 2438
Tirmidzi Kitabu bab no 707
Ibnu Majah Kitabu bab no 1728
Ahmad 1/224

PENJELASAN :
Hadits ini menjelaskan keutamaan amal shalih pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah secara umum. Termasuk di dalamnya : shalat , puasa , shadaqah , dzikir , membaca Al Qur’an dll.

Khusus tentang puasa pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, maka saya sudah jelaskan pada artikel sebelumnya tentang AMALAN PUASA SUNNAH BULAN DZULHIJJAH.

Saya kutipkan kembali pembahasan saya berkaitan dengan masalah ini , agar jamaah yang baru bergabung dapat mengikutinya :

HADITS TENTANG PUASA PADA BEBERAPA HARI PERTAMA DI BULAN DZULHIJJAH

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ وَعَفَّانُ قَالاَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ حَدَّثَنَا الْحُرُّ بْنُ الصَّيَّاحِ - قَالَ سُرَيْجٌ عَنِ الْحُرِّ - عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ. قَالَ عَفَّانُ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
قال الشيخ الألباني : صحيح
تعليق شعيب الأرنؤوط : ضعيف لاضطرابه

Bersumber dari Hunaidah bin Khalid dari istrinya , dari sebagian istri Nabi saw yang berkata :
Bahwasanya Rasulullah saw biasa berpuasa pada 9 hari (pertama) bulan Dzulhijjah dan pada hari Asyura’ dan 3 hari setiap bulan.
Affan (salah seorang rawi) berkata : pada hari senin pertama setiap bulan dan pada 2 hari Kamis.
Hadits riwayat Abu Dawud Kitabu bab no 2437
Ahmad 5/271 (ini adalah lafadznya)

Hadits ini  dinilai dha’if oleh imam Az Zaila’iy dalam Kitabnya Nashbur Rayah 2/157
Hadits ini dinilai mudh-tharib (guncang) oleh syaikh Al Arnauth , karena :

* Dalam satu riwayat disebutkan dari Hunaidah dari istrinya. 
* Dalam riwayat lainnya : dari Hunaidah dari ibunya dari Ummu Salamah r.a (istri Nabi saw).
* Dalam riwayat lainnya disebutkan dari Hafshah r.a binti Umar r.a (istri Nabi saw).
* Dalam riwayat lainnya disebutkan dari Ibnu Umar r.a 

LIHAT : Kitab Al Mausuu’ah Al Hadiitsiyah Musnad Al Imam Ahmad bin Hanbal jilid 37 halaman 24

PENJELASAN :
Kalimat تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ diartikan dengan 9 hari pertama di bulan Dzulhijjah. Dalam riwayat Nasai didapati redaksi yang mendukung kepada makna ini :

عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ امْرَأَتِهِ قَالَتْ حَدَّثَتْنِي بَعْضُ نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَتِسْعًا مِنْ ذِي الْحِجَّةِ 
وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ الشَّهْرِ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
قال الشيخ الألباني : صحيح

Bersumber dari Hunaidah bin Khalid dari istrinya dia berkata : telah mengkhabarkan kepadaku sebagian istri Nabi saw : Bahwasanya Rasulullah saw biasa berpuasa pada pada hari Asyura’ dan 9 hari (pertama) bulan Dzulhijjah dan dan 3 hari setiap bulan dan pada hari senin pertama setiap bulan dan pada 2 hari Kamis.
Hadits riwayat Nasai Kitabush Shiyam bab 70 no 2372

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ أَنْ يُتَعَبَّدَ لَهُ فِيهَا مِنْ عَشْرِ ذِى الْحِجَّةِ يَعْدِلُ صِيَامُ كُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا بِصِيَامِ سَنَةٍ وَقِيَامُ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْهَا بِقِيَامِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
قال الشيخ الألباني : ضعيف مع بعض الاختلاف في الألفاظ

Bersumber dari Abu Hurairah r.a dari Nabi saw yang bersabda : Tidak ada satupun hari yang lebih dicintai oleh Allah untuk beribadah kepadanya melebihi kecintaan Allah kepada amalan  yang dilakukan pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Puasa  1 hari dari padanya setara dengan puasa 1 tahun dan shalat malamnya , setiap malam setara dengan shalat pada saat lalatul Qadr
Hadits dha’if riwayat Tirmidzi Kitabush Shaum bab no 758
Ibnu Majah Kitabush Shiyam bab 39 no 1728

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
قال الشيخ الألباني : صحيح

Bersumber dari Ibnu Abbas r.a dia berkata : Rasulullah saw bersabda : Tidak ada satupun hari yang mana amal shalih di dalamnya lebih dicintai Allah dibanding dengan beberapa  hari ini - yaitu  10 hari pertama bulan Dzulhijjah- 
Mereka bertanya : Wahai Rasulullah ! Termasuk jihad di jalan Allah ?
Rasulullah saw bersabda : Termasuk jihad di jalan Allah. Kecuali seseorang yang berangkat jihad dengan membawa jiwa dan hartanya , kemudian dia tidak kembali dengan membawa apapun (gugur sebagai syahid). 
Abu Dawud Kitabush Shaum bab 61 no 2438
Tirmidzi Kitabu bab no 707
Ibnu Majah Kitabu bab no 1728
Ahmad 1/224

PENJELASAN :
Hadits ini menjelaskan keutamaan amal shalih pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah secara umum. Termasuk di dalamnya : shalat , puasa , shadaqah , dzikir , membaca Al Qur’an dll.

Maka : sekalipun hadits tentang keutamaan puasa pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah tidak disepakati keshahihannya , bahkan ada yang menganggapnya dha’if , tetapi hadits shahih tentang keutamaan amal shalih secara umum ini sudah dapat dijadikan dalil tentang keutamaan berpuasa pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.

Yang dimaksud 10 hari pertama adalah tanggal 1 sampai tanggal 9 Dzulhijjah saja, tidak termasuk tanggal 10.

Karena  tanggal 10 Dzulhijjah adalah hari Raya Qurban , yang mana diharamkan bagi setiap Muslim untuk berpuasa di dalamnya.

HADITS TENTANG LARANGAN BERPUASA PADA 2 HARI RAYA :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الأَضْحَى وَيَوْمِ الْفِطْرِ

Bersumber dari Abu Hurairah r.a , bahwasanya Rasulullah saw melarang berpuasa pada 2 hari , yaitu Hari Raya Adh-ha dan Hari raya Fithri 
Hadits shahih riwayat Muslim  Kitabush Shiyam bab 22 no 1138

عَنْ أَبِى عُبَيْدٍ مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ - رضى الله عنه - فَقَالَ هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ ، وَالْيَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ

Bersumber dari Abu Ubaid maula Ibnuz Azhar dia berkata : Aku Hadir pada hari Raya bersama Umar bin Al Khaththab r.a , lalu dia berkata : 2 hari ini , Rasulullah saw melarang untuk berpuasa di dalamnya. (Yaitu hari Raya Fithri) , hari dimana kalian berbuka dari puasa kalian.
dan Hari (Raya) Qurban , dimana kalian memakan sembelihan kalian. 

HADITS TENTANG RASULULLAH SAW TIDAK BERPUASA PADA 2 HARI RAYA

عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ 

Bersumber dari Anas r.a , dia berkata : Rasulullah saw tidak pergi menunaikan shalat Iedul Fithri , kecuali beliau saw makan beberapa biji korma terlebih dahulu ( dengan jumlah ganjil )
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Iedain bab 4 no 953

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلاَ يَطْعَمُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّىَ
قال الشيخ الألباني : صحيح
قال الأعظمي : إسناده حسن
قال شعيب الأرنؤوط : إسناده حسن

Bersumber dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya ( yaitu Buraidah r.a ), dia berkata :
Bahwasanya Nabi saw tidak pergi ( shalat ) pada Hari Raya Fithri kecuali makan terlebih dahulu.
Dan beliau saw tidak makan pada Hari Raya Adh-ha sehingga melakukan shalat (terlebih dahulu)
Hadits riwayat Tirmidzi Kitabush Shalah bab 278 no 542 ( ini adalah lafadznya ). 
Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani
Ibnu Majah Kitabush Shiyam bab 49 no 1754
Ibnu Khuzaimah no 1426 , sanadnya dinilai hasan oleh Syaikh Al A’dhami
Ibnu Hibban no 2812 , sanadnya dinilai hasan oleh Syaikh Al Arnauth

PENJELASAN
Diantara perkara yang diajarkan oleh Nabi saw adalah makan pagi ( sarapan ) sebelum pergi ke tempat shalat Ied pada Hari Raya Fithri
Sedangkan pada Hari Raya Adh-ha , Nabi saw tidak makan apapun sebelum berangkat ke tempat shalat Ied.
Saparan pagi dilakukan sekembalinya dari shalat.

Sebagian umat Islam beranggapan bahwa Nabi saw makan pagi sebelum berangkat ke tempat shalat pada Hari Raya Fithri adalah : agar tidak ada orang yang mengira bahwa masih ada kewajiban puasa sebelum shalat Ied dilaksanakan. Demikianlah yang dikatakan oleh Al Muhallab
( Lihat : Fat-hul Baari jilid 3 halaman 568 Kitabul Iedain bab 4 no 953 )

Sedangkan menunda makan sampai pulang dari shalat pada Hari Raya Adh-ha , adalah dikarenakan adanya syari’at penyembelihan qurban pada hari itu dan memakan sebagian daging qurbannya.

Imam Ahmad bin Hanbal mengkhususkan anjuran makan setelah shalat pada hari Raya Adh-ha adalah bagi orang yang berqurban.
( Lihat : Tuhfatul Ahwadzi jilid 3 halaman 68 Abwabul Iedain bab 390 no 542 )

Terlepas apakah kemungkinan itu benar atau tidak , yang jelas amalan tersebut dilakukan oleh Nabi saw, sehingga kita dituntut untuk mengikutinya, yaitu :

Makan dulu sebelum shalat Iedul Fithri.
Tidak makan apapun pada hari Raya Adh-ha , sampai mengerjakan shalat Ied . Setelah shalat ditunaikan , maka dipersilakan makan.


Wallahu A’lam.

DARI SAYA :

Allah swt berfirman :

وَالْفَجْرِ (1) وَلَيَالٍ عَشْرٍ (2)

Demi fajar,
Dan malam yang sepuluh,

Al Qur’an surah Al Fajr ayat 1- 2


Imam Ibnu Katsir berkata :

Kalimat  “AL FAJR” maknanya adalah shubuh.

Ini adalah perkataan dari Shahabat Ali r.a , Ibnu Abbas r.a dan tabi’in Mujahid, ‘Ikrimah, As Saddiy.

Sedangkan Masruq , Mujahid, Muhammad bin Ka’ab berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “ AL FAJR” adalah shubuh pada khusus pada hari nahr (tanggal 10 Dzulhijjah), yang merupakan penutup dari 10 malam (10 hari pertama bulan Dzulhijjah)

Yang dimaksud dengan 10 malam adalah 10 hari (pertama) di bulan Dzulhijjah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a , Ibnuz Zubair r.a , Mujahid dan tidak hanya seorang dari para ulama salaf dan khalaf

Lihat : Kitab Tafsir Ibnu Katsir pada surah Al Fajr ayat 1-2

PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL :

1. Allah swt bersumpah dengan menyebutkan malam yang 10 (yang maksudnya adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah), yang mana hal ini menunjukkan bahwa 10 hari pertama tersebut harus diperhatikan oleh qaum Muslimin.

2. Amal shalih yang dilakukan pada hari apa saja dan dalam bulan apa saja adalah kebaikan yang DICINTAI OLEH ALLAH SWT.

Tetapi amal shalih yang dilakukan pada 10 hari pertama dalam bulan Dzulhijjah LEBIH DICINTAI OLEH ALLAH dari pada yang dilakukan pada hari lainnya.

KARENA  AMALANNYA DICINTAI OLEH ALLAH , MAKA ORANG YANG MENGAMALKANNYA JUGA AKAN SANGAT DICINTAI OLEH ALLAH SWT. 

Sehingga : Seorang Muslim yang ingin dicintai oleh Allah swt hendaknya bersungguh sungguh melakukan segala upaya untuk melakukan amal shalih yang mampu dilakukannya siang dan malam dalam 10 hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut , misalnya ;

- Berpuasa sedapat dapatnya. Terserah berapa hari dia mampu melakukannya.
- Bershadaqah sebanyak yang bisa dilakukannya, baik dengan harta, ilmu , tenaga dll.
- Membaca Al Qu’an sebanyak yang bisa dilakukannya.
- Shalat fardhu dan shalat sunnah semaksimal mungkin.
- Berdzikir , beristighfar, bershalawat , dll sebanyak yang bisa dilakukannya.
- Berkata yang baik. Kalau tidak bisa berkata baik hendaknya dia diam.
- Berdo’a sebanyak banyaknya.
- DLL

Wallahu A’lam.
Oleh : Ustadz Mubarak Abdul rahim

TENTANG HIJRAH MENANTI