Kamis, 01 September 2016

HUKUM WANITA HAID MEMEGANG MAUPUN MEMBACA QUR'AN

Yang dipermasalahkan dalam hal ini ada 3 macam :

*  Bolehkah wanita haidh membaca Al Qur’an.
*  Bolehkan menyentuh mush-haf Al Qur’an tanpa wudhu ? (hadats kecil dan hadats besar)
*  Bolehkah membaca Al Qur’an tanpa berwudhu (hadats kecil) ?

1. HUKUM MEMBACA  AL QUR’AN TANPA WUDHU ‘ (HADATS KECIL) :

Tidak didapati dalil yang shahih tentang kewajiban berwudhu ketika akan membaca Al Qur’an, jika hal itu dilakukan tanpa menyentuh mush-haf. Misalnya membaca Al Qur’an dengan hafalan. Maka semata mata membaca Al Qur’an dengan hafalan tanpa berwudhu adalah dibolehkan.

Jika membaca dengan memegang atau menyentuh Mush-haf Al Qur’an maka hal ini diperselisihkan ulama. 

Yang diperselisihkan tersebut adalah menyentuhnya , bukan membacanya.

2. HUKUM BERHADATS BESAR MEMBACA AL QUR’AN (HAIDH / NIFAS / JUNUB)?

Jika seseorang dalam keadaan hadats besar karena haidh atau nifas atau junub, para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya membaca Al Qur’an :

A) YANG BERPENDAPAT BAHWA HARAM HUKUMNYA MEMBACA AL QUR’AN DALAM KEADAAN HAIDH, NIFAS ATAU JUNUB.

Ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Hanbali, Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarak, Ishaq dll.  

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَقْرَإِ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
قال الشيخ الألباني : منكر
قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ حَدِيثٌ لاَ نَعْرِفُهُ إِلاَّ مِنْ حَدِيثِ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَيَّاشٍ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ يَقْرَإِ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ ». وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِثْلِ سُفْيَانَ الثَّوْرِىِّ وَابْنِ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِىِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ قَالُوا لاَ تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْئًا إِلاَّ طَرَفَ الآيَةِ وَالْحَرْفَ

Bersumber dari Ibnu Umar r.a, dari Nabi saw yang bersabda : Tidak boleh bagi orang yang haidh dan junub membaca sesuatu daripada Al Qur’an.
Hadits riwayat Tirmidzi Kitabuth Thaharah bab 98 no 131
Ibnu Majah kitabuth Thaharah bab 105 no 595

Dalam sanadnya ada rawi Ismail bin Ayyasy seorang rawi yang dinilai lemah oleh imam Ahmad dan imam Al Bukhari
Syaikh Al Albani menilainya sebagai hadits munkar.

عَنْ عَلِىٍّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُقْرِئُنَا الْقُرْآنَ عَلَى كُلِّ حَالٍ مَا لَمْ يَكُنْ جُنُبًا
قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَلِىٍّ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده حسن
قال الشيخ الألباني : ضعيف

Bersumber dari Ali bin Abi Thalib r.a , dia berkata : Bahwasanya Rasulullah saw sering membaca Al Qur’an buat kami ketika beliau saw tidak dalam keadaan junub
Hadits riwayat Tirmidzi Kitabuth Thaharah bab 111 no 146
Ahmad 1/83

Penjelasan :
Kalimat “Bahwasanya Rasulullah saw sering membaca Al Qur’an buat kami ketika beliau saw tidak dalam keadaan junub” difahami bahwa : Kalau dalam keadaan junub maka Nabi saw tidak membaca Al Qur’an buat kami.

Hadits ini didalam sanadnya ada Abdullah bin Salamah yang menurut imam Al Baihaqi dia meriwayatkan hadits tersebut ketika sudah tua dan pikun
( Ma’rifatus Sunan wal Atsar bab Qira’atil Qur’an no 214 )

Imam Tirmidzi berkata : hadits ini hasan shahih
Syaikh Al Arnauth berkata : sanadnya hasan
Tetapi hadits ini dinilai sebagai hadits dha’if oleh Syaikh Al Albani

عَنْ عَلِىٍّ - رضى الله عنه - قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَخْرُجُ مِنَ الْخَلاَءِ فَيُقْرِئُنَا الْقُرْآنَ وَيَأْكُلُ مَعَنَا اللَّحْمَ وَلَمْ يَكُنْ يَحْجُبُهُ - أَوْ قَالَ يَحْجُزُهُ - عَنِ الْقُرْآنِ شَىْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةَ
قال الشيخ الألباني : ضعيف
تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده حسن

Bersumber dari Ali r.a, dia berkata : Sesungguhnya Rasulullah saw pernah keluar dari tempat buang air, lalu mengajar kami Al Qur’an dan makan daging bersama kami. Dan tidak ada satupun yang menghalangi beliau saw dari membaca Al Qur’an selain junub.
Hadits riwayat Abu Dawud Kitabuth Thaharah bab 89 no 28 ( ini adalah lafadznya )
Nasai Kitabuth Thaharah bab 171 no 265
Ahmad 1/107, sanadnya dinilai hasan oleh Al Arnauth

Penjelasan :
Kalimat “Dan tidak ada satupun yang menghalangi beliau saw dari membaca Al Qur’an selain junub” difahami  bahwa :  Kalau sedang junub maka Nabi saw tidak membaca Al Qur’an.

Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Salamah yang ketika sudah tua dia pikun.
Sehingga Syaikh Al Albani menilai hadits ini dha’if ( Irwaul Ghalil no 485 )
Tetapi Syaikh Al Arnauth menilai sanad hadits tersebut adalah hasan.

Wallahu A’lam.

B) YANG BERPENDAPAT BAHWA HUKUMNYA BOLEH MEMBACA AL QUR’AN DALAM KEADAAN HADATS BESAR KARENA HAIDH, NIFAS ATAU JUNUB

Ini adalah pendapat :

Shahabat : Ibnu Abbas r.a.
Tabi’in : Ibrahim An Nakha’i
Generasi di bawahnya : Imam Al Bukhari dll.

وَلَمْ يَرَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالْقِرَاءَةِ لِلْجُنُبِ بَأْسًا
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَخْبَرَنِى أَبُو سُفْيَانَ أَنَّ هِرَقْلَ دَعَا بِكِتَابِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَرَأَ فَإِذَا فِيهِ « بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ وَ ( يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ ) » . الآيَةَ

Bahwa Ibnu Abbas r.a memandang, tidak mengapa orang junub membaca ( Al Qur’an )
Ibnu Abbas r.a berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Sufyan bahwa Hiraklius 
(raja Romawi) meminta surat yang dikirim Nabi saw. Kemudian Hiraklius membacanya. Di dalam surat itu ada (ayat Qur’an ) : Bismillahirrahmanirrahim. Ya Ahlal kitabi ta’aalau ilaa kalimatin dst ( hai Ahli Kitab ! Marilah ( berpegang ) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu ( Al Qur’an surah Ali Imran ayat 64 )
Riwayat Al Bukhari secara mu’allaq dalam Kitabul Haidh bab 7 sebelum no 305

Penjelasan : 
Dalam hadits di atas disebutkan bahwa Nabi saw mengirim surat kepada raja kafir dengan menyertakan ayat Al Qur’an di dalamnya. Nabi saw tentu bermaksud agar surat yang ada ayat Al Qur’an tersebut dibaca oleh raja kafir itu.
Sedangkan kita tahu bahwa orang kafir tentu tidak suci dari hadats. Maka disimpulkan bahwa membaca Al Qur’an boleh dilakukan walaupun dalam keadaan hadats besar (haidh , nifas dan junub).
Jika orang yang berhadats besar dilarang membaca Al Qur’an , tidak mungkin Rasulullah saw mengirim surat kepada raja kafir disertai dengan ayat Al Qur’an di dalamnya.

وَقَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

Aisyah r.a berkata : Bahwasanya Rasulullah saw biasa berdzikir kepada Allah dalam segala keadaannya.
Hadits riwayat Al Bukhari secara mu’allaq Kitabul Adzan bab 19 sebelum no 634

Penjelasan :
Nabi saw biasa berdzikir kepada Allah ( mengingat Allah ) dalam segala keadaannya
Dalam segala keadaan artinya : dalam keadaan suci dari hadats atau tidak .
Hal ini termasuk dalam keadaan hadats besar yaitu junub.
Sedangkan kalimat “mengingat Allah “ difahami termasuk membaca Al Qur’an
Maka tidak dilarang membaca Al Qur’an dalam keadaan berhadats besar.

عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - أَنَّهَا قَالَتْ قَدِمْتُ مَكَّةَ وَأَنَا حَائِضٌ ، وَلَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ ، وَلاَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ ، قَالَتْ فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « افْعَلِى كَمَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى

Bersumber dari Aisyah r.a , bahwasanya dia berkata : 
Aku tiba di Makkah ( dalam perjalanan haji bersama Rasulullah saw ) lalu aku haidh’ padahal aku belum thawaf di Baitullah , dan belum juga sa’i antara Shafa dan Marwah.
Maka aku mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw , lalu beliau saw bersabda :
Lakukanlah (seluruh amalan) yang dilakukan oleh orang yang melakukan ibadah haji, hanya saja tidak boleh thawaf di Baitullah sehingga engkau bersuci (dari haidh).
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Haj bab 81 no 1650

Penjelasan :
Nabi saw memerintahkan kepada Aisyah r.a yang sedang haidh agar melakukan seluruh amalan yang dilakukan oleh orang yang menunaikan haji kecuali thawaf di Baitullah.
Orang yang melakukan ibadah haji sudah tentu mengingat Allah dan membaca Al Qur’an
Sedangkan Nabi saw memerintahkan Aisyah r.a yang sedang haidh untuk melakukan seperti orang yang sedang tidak haidh ( di dalam amalan hajinya ).
Maka difahami bahwa orang yang haidh boleh membaca Al Qur’an.

Kesimpulan :
Dari saya : Sebaik baiknya adalah : Orang yang berhadats besar (haidh , nifas dan junub) tidak membaca Al Qur’an , kecuali bagi para guru yang harus mengajarkan bacaan Al Qur’an kepada muridnya . Sedangkan kalau dia tidak mengajar membuat muridnya harus diliburkan. Jika dalam kondisi seperti ini membaca sekedar beberapa ayat untuk mengajar maka hukumnya diperbolehkan. 

Walaupun orang yang berhadats besar tidak membaca Al Qur’an , dia tidak terhalang untuk melakukan amal shalih lainnya, Misalnya berdzikir dan berdo’a , beristighfar , karena amalan ini boleh dilakukan walaupun dalam keadaan hadats besar

Wallahu A’lam.

3. HUKUM MENYENTUH MUSH-HAF ( AL QUR’AN ) TANPA WUDHU’
( DALAM KEADAAN HADATS KECIL ATAU HADATS BESAR) 

Masalah ini diperselisihkan oleh umat Islam.

Sekurangnya ada 2 pendapat , yaitu ada yang tidak membolehkan dan ada yang membolehkan 

A) YANG BERPENDAPAT BAHWA MENYENTUH MUSH-HAF HARUS SUCI DARI HADATS

Ini adalah pendapat dari imam Malik , imam Syafi’i , imam Ahmad dll

Lihat : Kitab Shahih Fiqih Sunnah jilid 1 halaman 144

Alasannya :

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.
Al Qur’an surah Al Waqi’ah ayat 79

Kalimat “ Al Muthahharuun “ diartikan dengan orang yang suci dari hadats.
Artinya : Orang yang sedang berhadats tidak diperbolehkan menyentuh mush-haf 
Al Qur’an.

Didapati adanya hadits yang menguatkan pendapat ini :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ أَنَّ فِى الْكِتَابِ الَّذِى كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ « أَنْ لاَ يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ 
قال حسين سليم أسد : إسناده ضعيف

Bersumber dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm , sesungguhnya di dalam kitab yang dikirim oleh Rasulullah saw untuk ‘Amru bin Hazm : Tidak boleh seseorang menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang thahir (suci)
Hadits riwayat Malik Kitabul Qur’an bab 1 no 473 
Ad Daraquthni Kitabut Thaharah bab no 431
Ad Darimi Kitabuth Thalaq bab 3 no 2266 ( ini adalah lafadznya )

Sanad hadits ini dinilai dha’if oleh Syaikh Husain Sulaim Asad

Tetapi redaksi yang diriwayatkan oleh imam Ad Daraquthni dianggap sanadnya bersambung oleh Syaikh Al Albani, dan beliau menilainya shahih.

Lihat : Kitab Irwaaul Ghaliil jilid 1 halaman 58 hadits no 122

B) YANG BERPENDAPAT BAHWA TIDAK DIWAJIBKAN BERWUDHU’ KETIKA MENYENTUH  MUSH-HAF (AL QUR’AN)

Ini adalah pendapat shahabat Ibnu Abbas r.a , imam Hanafi , Ibnu Hazm , Ibnul Mundzir dll 

Lihat : Kitab Shahih Fiqih Sunnah jilid 1 halaman 146

Alasannya : 
1. Dlamir ( kata ganti ) orang ke 3 pada kalimat “ Laa Yamassuhu = tidak menyentuhnya“ difahami bahwa kata “ NYA “ pada kalimat tersebut diartikan dengan : Kitab yang ada di langit ( Lauhil Mahfudz ) , bukan Mus-haf Al Qur’an yang ditulis atau dicetak oleh manusia yang ada di bumi.

Sehingga kata “ Laa Yamassuhuu “ artinya : Tidaklah menyentuh terhadap Kitab yang ada di langit ( Lauhil Mahfudz )

Sedangkan kata : Al Muthahharuun diartikan dengan : Hamba hamba yang disucikan, yaitu para Malaikat.

Maka arti selengkapnya dari kalimat “ Laa Yamassuhuu Illal Muthahharuun adalah :

TIDAK ADA YANG MENYENTUH KITAB YANG ADA DI LANGIT TERSEBUT MELAINKAN PARA MALAIKAT YANG DICUCIKAN

Ayat ini diturunkan sehubungan dengan tuduhan orang orang kafir  bahwa Al Qur’an diturunkan oleh syaithan , sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lainnya :

وَمَا تَنزلَتْ بِهِ الشَّيَاطِينُ (210) وَمَا يَنْبَغِي لَهُمْ وَمَا يَسْتَطِيعُونَ (211) إِنَّهُمْ عَنِ السَّمْعِ لَمَعْزُولُونَ (212)

Dan Al Qur'an itu bukanlah dibawa turun oleh syaitan-syaitan.
Dan tidaklah patut mereka membawa turun Al Qur'an itu, dan mereka pun tidak akan kuasa,Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan daripada mendengar Al Qur'an itu.
Al Qur’an surah Asy Syu’araa’ ayat 210-212

Maka hal ini dibantah oleh Allah swt dengan ayat tersebut.
Susunan kalimat dalam ayat tersebut :

إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79) تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ 

Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia,
Pada Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh),
Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan
Diturunkan dari Tuhan semesta alam.
Al Qur’an surah ayat Al Waqi’ah ayat 77-80

Makna yang seperti ini dikuatkan dengan ayat lainnya :

فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ (13) مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ (14) بِأَيْدِي سَفَرَةٍ (15) كِرَامٍ بَرَرَةٍ (16)

Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan,
Yang ditinggikan lagi disucikan,
Di tangan para penulis (malaikat),
Yang mulia lagi berbakti.
Al Qur’an surah ‘Abasa ayat 13-16

2. Mush-haf Al Qur’an yang dibukukan 30 juz belum ada di zaman Nabi saw, karena Al Qur’an baru dibukukan pada zaman kekhalifahan Abu Bakar r.a 

Ketika Nabi saw masih hidup , Al Qur’an yang 30 juz diturunkan secara lengkap oleh Allah swt ke langit dunia dan setelah itu diturunkan ke bumi sedikit demi sedikit sampai lebih dari 20 tahun.

عَنْ اِبْن عَبَّاس قَالَ " أُنْزِلَ الْقُرْآن جُمْلَة وَاحِدَة إِلَى سَمَاء الدُّنْيَا فِي لَيْلَة الْقَدْر ، ثُمَّ أُنْزِلَ بَعْد ذَلِكَ فِي عِشْرِينَ سَنَة

Bersumber dari Ibnu Abbas r.a, dia berkata : 
Al Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada Lailatul Qadar. Kemudian diturunkan setelah itu dalam masa dua puluh tahun

Ada lagi riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a 

وُضِعَ فِي بَيْت الْعِزَّة فِي السَّمَاء الدُّنْيَا ، فَجَعَلَ جِبْرِيل يَنْزِل بِهِ عَلَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Diletakkan di Baitul ‘Izzah di langit dunia , lalu Jibril menurunkan kepada Nabi saw
( riwayat Al Hakim dengan sanad shahih )
Dikutip dari Fathul Baari , karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani ( Syarah Shahih Al Bukhari jilid 11 halaman 5 Kitabu Fadhaailil Qur’an bab 1 no 4983 )

Kemudian Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaani menyampaikan :
Dikutip dari kitab Al Minhaj karya Al Haliimiy bahwa :

Sesungguhnya Jibril menurunkan Al Qur’an dari Lauhul Mahfudz ( Lembaran yang terpelihara ) ke langit dunia pada Lailatul Qadar

Tapi sanad riwayat ini munqathi’

Lihat : Kitab Fathul Baari jilid 11 halaman 5 Kitabu Fadhaailil Qur’an bab1 no 4983 

3. Dalam realita didapati bahwa mush-haf Al Qur’an yang berada di dunia ini ternyata dapat disentuh oleh orang kafir. Maka mush-haf yang dimaksud dalam Al Qur’an yang hanya disentuh oleh hamba Allah yang disucikan adalah yang di Lauhil Mahfudz. Bukan mush-haf yang berada di dunia ini.

Didalam Tafsiir Ibnu Katsiir : 
Tidak ada yang dapat menyentuh Al Qur’an di sisi Allah kecuali hamba hamba yang disucikan. Adapun didunia , maka mus-haf Al Qur’an ternyata dapat dipegang  juga oleh orang majusi yang najis dan orang musyrik yang kotor.
Lihat : Kitab Tafsiir Ibnu Katsiir jilid 4 halaman 272, surah Al Waqi’ah ayat 79 )

4. Nabi saw pernah mengirim surat kepada raja raja kafir dengan menyertakan ayat Al Qur’an, padahal raja kafir tidak pernah berwudhu’ . 

Diantara surat Rasulullah saw adalah yang dikutip dalam hadits yang panjang , yang dikutipkan sebagiannya saja :

قَالَ أَبُو سُفْيَانَ ثُمَّ دَعَا بِكِتَابِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقُرِئَ فَإِذَا فِيهِ « بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ ، سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى ، أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ ، وَأَسْلِمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَعَلَيْكَ إِثْمُ الأَرِيسِيِّينَ وَ ( يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لاَ نَعْبُدَ إِلاَّ اللَّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ )

Abu Sufyan berkata : Kemudian raja Haraqlius meminta surat dari Rasulullah saw kemudian surat tersebut dibacakan . Didalamnya ada kalimat :

Bismillahirrahmanirrahim , dari Muhammad hamba Allah dan utusannya.
Kepada Hiraqlius penguasa kerajaan Romawi.
Mudah mudahan keselamatan dilimpahkan oleh Allah kepada orang yang mengikuti petunjuk.
Amma ba’du (adapun sesudah itu)
Sesungguhnya aku mengajak engkau dengan seruan Islam.
Masuklah Islam , maka engkau akan selamat.
Masuklah Islam , maka Allah akan memberikan kepadamu pahala 2 kali.
Jika engkau berpaling (tidak mau) maka bagimu dosa ariisiyyiin.
(Kemudian dibaca ayat Al Qur’an surah Ali Imran ayat 64) :

"Wahai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
Shahih Al Bukhari Kitabul Jihad bab 102 no 2941

5. Mengingkari penilaian shahih terhadap hadits : “ Tidak ada yang menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang thahir” .

Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim berkata :
Hadits tersebut dha’if , sanad sanadnya lemah. Sebagiannya hanya berupa lembaran yang tidak memiliki sanad dan permasalahan meningkatkan hadits ini menjadi hasan adalah sebuah perdebatan. Hadits ini dinilai shahih oleh syaikh Al Albani dalam  Kitab Irwaaul Ghaliil jilid 1 halaman 58 hadits no 122

Yang jelas hadits ini tidak  bisa terangkat menjadi hasan. 

Wallahu A’lam.
(dikutip dari catatan kaki jilid 1 halaman 145)

Jika hadits ini derajatnya shahih , dan kata ganti pada kalimat “La Yamassuhu” diharuskan kembali kepada mush-haf Al Qur’an , maka kami katakan:

Bahwa kata “ Ath Thahir” adalah lafadz yang musytarak (memiliki beberapa makna) : 
Seorang mukmin
Orang yang suci dari hadats basar.
Orang yang suci dari hadats kecil.
Orang yang pada tubuhnya tidak ada kotoran.
Dll  

Barangsiapa mengatakan bahwa lafadz musytarak bersifat umum , maka lafadz ini tidak dapat dipergunakan sampai dia diperjelas (maknanya ke arah yang mana.) 

Tidak ada hujjah dalam ayat dan hadits di atas meskipun kata “thahir”  diartikan dengan makna orang yang tidak berhadats kecil maupun besar.

Lihat : Kitab Shahih Fiqih Sunnah jilid 1 halaman 145

Dari saya :
Seandainya hadits tentang larangan menyentuh Al Qur’an adalah shahih maka maknanya adalah: tidak patut menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang beriman, karena orang yang beriman tidak najis sedangkan orang kafir adalah najis, sebagaimana yang disebutkan di dalam Al Qur’an maupun hadits Nabi saw :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.
Al Qur’an surah At Taubah ayat 28

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - لَقِيَهُ فِى بَعْضِ طَرِيقِ الْمَدِينَةِ وَهْوَ جُنُبٌ ، فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ ، فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ ، ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ « أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ » . قَالَ كُنْتُ جُنُبًا ، فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ . فَقَالَ « سُبْحَانَ اللَّهِ ، إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ

Bersumber dari Abu Hurairah r.a , sesungguhnya Nabi saw berjumpa dengannya pada salah satu jalan di kota Madinah, sedangkan Abu Hurairah dalam keadaan junub.
Abu Hurairah r.a berkata : Maka aku menghindar dari Rasulullah saw lalu pergi untuk mandi kemudian datang lagi (menemui Rasulullah saw)
Nabi saw bertanya : Engkau tadi ke mana wahai Abu Hurairah ?
Abu Hurairah r.a berkata : Aku tadi junub, maka aku tidak menyukai duduk di majlis engkau sedangkan aku dalam keadaan junub.
Lalu Nabi saw bersabda : Subhanallah, sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Ghusli bab 23 no 283 (ini adalah lafadznya)
Muslim Kitabul Haidh bab 29 no 371

Larangan membawa Al Qur’an ke daerah musuh :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - نَهَى أَنْ يُسَافَرَ بِالْقُرْآنِ إِلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ

Bersumber dari Abdullah bin Umar r.a , sesungguhnya Rasulullah saw melarang seseorang bepergian ke negeri musuh dengan membawa Al Qur’an
Hadits shahih riwayat Al Bukhari Kitabul Jihad bab 129 no 2990
Muslim Kitabul Imarah bab 24 no 1869

Kesimpulan :
Makna “ Laa yamassul Qur’an illaa Thaahir “ adalah : Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang beriman. Artinya : orang kafir tidak layak menyentuh Al Qur’an. 

Bukan bermakna : mewajibkan berwudhu bagi orang yang beriman ketika akan menyentuh mush-haf Al Qur’an.

Wallahu A’lam.

Bantahan :
Orang kafir najis : ada yang berpendapat bahwa maknanya bukan najis badannya tetapi najis (kotor) hatinya. Karena Rasulullah saw mengidzinkan shahabatnya  untuk  mengikat orang kafir di masjid , dan setelah itu tidak diperintahkan untuk dicuci atau disiram bekasnya.

Sehingga umat Islam tidak diperintahkan untuk mencuci bagian tubuhnya yang bersentuhan dengan orang kafir , baik terkena pakaiannya atau kulitnya secara langsung, seperti berjabat tangan atau lainnya.

عن ابى هُرَيْرَةَ قَالَ بَعَثَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - خَيْلاً قِبَلَ نَجْدٍ ، فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِى حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ ، فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِى الْمَسْجِدِ ، فَخَرَجَ إِلَيْهِ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ « أَطْلِقُوا ثُمَامَةَ » . فَانْطَلَقَ إِلَى نَخْلٍ قَرِيبٍ مِنَ الْمَسْجِدِ ، فَاغْتَسَلَ ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

Bersumber dari Abu Hurairah r.a , dia berkata : Nabi saw mengutus pasukan berkuda ke arah Nejed. Lalu pasukan tersebut kembali dengan membawa seorang laki laki dari bani Hanifah yang dipanggil dengan Tsumamah bin Utsal ( pemimpin suku Yamamah ).
Maka mereka mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid.
Kemudian Nabi saw keluar kepadanya dan bersabda : Lepaskan dia.
Maka Tsumamah pergi ke kebun korma yang berada di dekat masjid dan dia mandi di sana. Setelah itu dia masuk masjid dan mengucapkan : ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAH
Hadits shahih riwayat Bukhari Kitabush Shalah bab 76 no 462
Muslim Kitabul Jihad was Siyar bab 19 no 1764

Dari saya :
Saya setuju dengan makna ini. Maka larangan untuk membawa Al Qur’an ke tempat musuh dimaksudkan agar orang kafir yang najis (kotor) hatinya tidak melecehkan Al Qur’an dengan melakukan penghinaan atau hal lainnya kepada Al Qur’an.

KESIMPULAN :
Yang saya kuatkan adalah : boleh menyentuh mush-haf Al Qur’an dalam keadaan tidak berwudhu.

Wallahu A’lam.     
Oleh : Ustadz Mubarak Abdul Rahim                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TENTANG HIJRAH MENANTI