Senin, 22 Agustus 2016

BADAL HAJI

Badal haji adalah menggantikan orang lain untuk menunaikan haji 

Dalam masalah ini ada yang  disepakati tentang bolehnya badal haji dan ada yang diperselisihkan : 

1. YANG DISEPAKATI PARA ULAMA TENTANG BOLEHNYA BADAL HAJI ADALAH : ANAK MENGHAJIKAN ORANG TUANYA 


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ الْفَضْلِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللَّهِ فِى الْحَجِّ وَهُوَ لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « فَحُجِّى عَنْهُ
قال الشيخ الألباني : صحيح
تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده صحيح على شرط الشيخين

Bersumber dari Ibnu Abbas r.a , dari Fadl bin Abbas r.a , bahwasanya ada seorang perempuan dari Khats’am berkata : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya bapakku adalah seorang yang sudah tua, sedangkan kewajiban yang Allah bebankan kepada hambanya dalam ibadah haji (telah menjadi kewajiban ayahku) , padahal ia tidak mampu lagi duduk di atas untanya." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "KALAU BEGITU, HAJIKANLAH DIA."
Hadits shahih riwayat Bukhari Kitabu Jazaaish Shaidi bab 24 no 1855
Muslim Kitabul Haj bab 71 no 1335 ( dan ini adalah lafadhnya )
Ahmad 34/345 no
Abu Dawud Kitabul Manasik bab 26 no 1809
Tirmidzi Kitabul Haj bab 85 no 928
Nasai Kitabu Manasikil Haj bab 9 no 2635
Ibnu Majah Kitabu Manasikil Haj bab 10 no 2909

قال أبو عيسى وَقَدْ صَحَّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فِي هَذَا الْبَابِ غَيْرُ حَدِيثٍ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم وَغَيْرِهِمْ وَبِهِ يَقُولُ الثَّوْرِيُّ وَابْنُ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ يَرَوْنَ أَنْ يُحَجَّ عَنْ الْمَيِّتِ وَقَالَ مَالِكٌ إِذَا أَوْصَى أَنْ يُحَجَّ عَنْهُ حُجَّ عَنْهُ وَقَدْ رَخَّصَ بَعْضُهُمْ أَنْ يُحَجَّ عَنْ الْحَيِّ إِذَا كَانَ كَبِيرًا أَوْ بِحَالِ لَا يَقْدِرُ أَنْ يَحُجَّ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ الْمُبَارَكِ و الشَّافِعيّ
ABU ISA (IMAM TIRMIDZI)  berkata : Mengenai masalah ini tidak hanya ada satu (atau dua) hadits yang telah shahih dari Nabi saw. Dan hal ini telah diamalkan oleh ahli ilmu dari kalangan shahabat Nabi saw dan yang selain mereka.
Imam Ats Tsauri , Ibnul Mubarak, Asy Syafi’I, Ahmad ,Ishaq berpendapat agar orang yang telah wafat itu dihajikan atas namanya. 
Imam Malik berkata : Kalau orang tersebut berwashiyat agar dihajikan , maka hendaknya dia dihajikan
Dan sebagian ahli ilmu berpendapat ( adanya keringanan ) buat menghajikan orang yang masih hidup apabila yang dihajikan tersebut adalah orang yang sudah tua yang tidak sanggup melakukan haji sendiri. 
Ini adalah pendapat imam Ibnul Mubarak dan Asy Syafi’i 

Lihat : Kitab sunan Tirmidzi , Kitabul Haj bab 85 no 928 

Dari saya :
Ini juga merupakan pendapat dari imam Ahmad dan golongan Hanafi 

2. YANG DIPERSELISIHKAN TENTANG BOLEH TIDAKNYA  BADAL HAJI 

SESEORANG MENGHAJIKAN ORANG LAIN ( BUKANLAH ANAK MENGHAJIKAN ORANG TUANYA ) 

Alasannya : Hadits yang dijadikan sandaran hukumnya , tidak disepakati keshahihannya.
Hadits tersebut adalah :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ « مَنْ شُبْرُمَةَ ». قَالَ أَخٌ لِى أَوْ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ ». قَالَ لاَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
قال الشيخ الألباني : صحيح
وقال الأعظمي : إسناده صحيح
وقالَ الْبَيْهَقِيُّ : إسْنَادُهُ صَحِيحٌ
وَأَمَّا الطَّحَاوِيُّ فَقَالَ : الصَّحِيحُ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ : رَفْعُهُ خَطَأٌ
قال الشيخ الألباني في الارواء : وقد تكلم فيه بعض العلماء بكلام كثير يراجهه من شاء في المبسوطات من التخريجات . مثل ( نصب الراية ) و ( تلخيص الحبير ) وغيرهما وقال الحافظ ابن الملقن في ( خلاصة البدر المنير ) ( ق 104 / 1 ) : ( وإسناده صحيح على شرط مسلم وقد أعله الطحاوي بالوقف والدارقطني بالارسال وابن المغلس الظاهري بالتدليس وابن الجوزي بالضعف وغيرهم بالاضطراب والانقطاع وقد زال ذلك كله بما أوضحناه في الاصل ) . قلت : وأوضح شيئا من ذلك الحافظ في ( التلخيص ) ومال إلى تصحيح الحديث بالنظر 
 إلى أن له شاهدا مرسلا رواه سعيد بن منصور عن سفيان بن عيينة عن ابن جريج عن عطاء عن النبي صلى الله عليه وسلم فقال : ( لكنه يقوي المرفوع ( يعني الموصول ) لانه من غير رجاله وقد رواه الاسماعيلي في     ( معجمه ) من طريق أخرى عن أبي الزبير عن جابر وفي إسنادها من يحتاج إلى النظر في حاله فيجتمع من هذا صحة الحديث )  

Bersumber dari Ibnu Abbas r.a , sesungguhnya Nabi saw mendengar seorang laki laki berkata : Aku penuhi panggilan Mu ( untuk berhaji, wahai Allah ) , atas nama Syubrumah. Maka Nabi saw bersabda : siapakah Syubrumah itu ?
Dia menjawab : dia saudaraku ( atau keluargaku )
Nabi saw bersabda : Apakah engkau sudah melaksanakan haji buat dirimu sendiri ?
Dia menjawab : belum
Nabi saw bersabda : lakukanlah haji untuk dirimu sendiri terlebih dahulu , kemudian lakukanlah haji untuk Syubrumah
Hadits riwayat Abu Dawud Kitabul Manasik bab 29 no 1811 ( ini adalah lafadhnya )
Ibnu Majah Kitabul Manasik bab 9 no 1902
Ibnu Khuzaimah Kitabul Manasik bab no 3039
Al Baihaqi dalan As Sunanul Kubra kitabu bab no
Ad Daraquthni Kitabul haj bab 1 no 2673 ( 276?)
Ibnu Abi Syaibah Kitabul haj bab 97 no 13368
Ibnu Hibban Kitabu bab no 962
(periksa Al Irwa’ no 994 ) 

Al Hafidz Ibnu Mulqan berkata : sanadnya shahih sesuai syarath imam Muslim
Imam Ath Thahawi berkata  bahwa hadits ini mauquf (perkataan shahabat ,bukan sabda Nabi saw)
Imam Ad Daraquthni berkata bahwa hadits ini mursal
Imam Ahmad bin Hanbal berkata : Memarfu’kam hadits ini adalah kesalahan (maksudnya : menganggap bahwa hadits ini berasal dari Nabi saw adalah kesalahan)

Hadits ini dinilai shahih oleh : Syaikh Al Albani
Sanadnya dinilai shahih oleh : Syaikh Al A’dhami, imam Baihaqi, Ath Thahawi dll

Penjelasan :
Hadits  ini menjelaskan bahwa seseorang yang tidak ada hubungan antara anak dengan orang tua dapat menghajikan antara satu dengan lainnya.

Pemahaman seperti ini didapatkan dari sabda Rasulullah saw  حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
(lakukanlah haji untuk dirimu sendiri terlebih dahulu , kemudian lakukanlah haji untuk Syubrumah).

Perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang boleh atau tidaknya menghajikan orang lain yang tidak ada hubungan antara orang tua dan anak, dikarenakan perbedaan mereka di dalam menetapkan shahih tidaknya hadits tesebut.

Bagi yang menilainya  shahih , maka hadits ini dapat dijadikan dalil tentang bolehnya membadalkan haji atas nama orang lain yang tidak ada kaitan hubungan antara anak dengan orang tua.

Bagi yang menilai hadits ini dha’if , maka dia menolaknya.

YANG SAYA PILIH : 
Saya  menguatkan bahwa hadits syubrumah ini derajatnya shahih, sehingga seseorang dapat menghajikan orang lain yang sudah wafat atau masih hidup tetapi memiliki halangan tetap, seperti sudah tua dan tidak mampu melakukan perjalanan ibadah haji.

Wallahu A’lam.

CABANG PERMASALAHAN :

1. TENTANG UPAH BADAL HAJI

Maksudnya : Ada beredar berita bahwa sebagian qaum Muslimin memasang tariff badal haji,Terkadang terjadi tawar menawar antara pihak yang membadalkan dengan yang dibadalkan,Seakan tariff  tersebut adalah “harga”  ibadah yang dilakukannya.

DARI SAYA : 
Saya menentang keras adanya praktek “jual beli” ibadah haji, walaupun dibungkus dengan istilah “badal haji”.  

Seharusnya orang yang membadalkan haji memasang niat yang ikhlash untuk membantu saudaranya sesama Muslim agar mendapatkan manfaat dari kebaikannya.

Jadi , pada asalnya , badal haji adalah bantuan gratis dari seorang Muslim untuk saudaranya sesama Muslim karena Allah swt.

Tetapi karena haji tempatnya jauh , sudah selayaknya orang yang dibadalkan hajinya membiayai perjalanan haji orang yang membadalkannya. Termasuk makan dan minumnya serta biaya penginapannya.

Jika yang membadalkan berangkat dari Indonesia , maka hendaknya yang membadalkan membantu biaya ongkos naik haji buat orang yang membadalkan.

Janganlah dia berkata : engkau harus ikhlash membadalkan haji untuk ayah saya. Maka keluarkan sendiri ongkos naik haji buat ayah saya. 

Jika dibalik kepada dirinya atau ada yang berperilaku demikian terhadap dirinya , dia disuruh melakukan haji atas biaya dia sendiri tapi atas nama ayah orang lain,  maukah dia melakukannya? 

Jika yang membadalkan sudah menetap di Saudi Arabia, tetap saja dianjurkan agar orang yang dibadalkan membantu biaya yang harus dikeluarkan oleh orang yang membadalkannya. Karena haji waktunya panjang , sekurangnya 6 hari.
Dia perlu makan , transport , belanja anak dan istri yang ditinggalkannya. Walaupun dia tidak meminta bayaran.

Jika kemudian ada dana yang diberikan kepada orang yang membadalkan , ini bukan jual beli ibadah , tetapi biaya perjalanan haji dengan segala kebutuhan penunjangnya seperti makan dan penginapan.

2. TENTANG PENDAPAT YANG MELARANG BADAL HAJI BERDASARKAN AYAT AL QUR’AN 

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39)

Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.
Al Qur’an surah An Najm ayat 38-39

Penjelasan :
Makna ayat ini adalah : seseorang tidak akan memikul dosa yang dilakukan orang lain.
Dan seseorang hanya mendapat pahala dari usahanya sendiri, tidak bisa dia duduk saja kemudian mendapat pahala ibadah yang diwakilkan atau dilakukan oleh orang lain.

Berdasarkan ayat ini , sebagian qaum Muslimin mengingkari badal haji secara muthlaq , baik itu antara anak dan orang tua serta antara seseorang dengan orang lainnya. Alasannya , Allah telah menyatakan bahwa seseorang hanya akan mendapat pahala dari ibadah yang dilakukannya sendiri ketika dia masih hidup, dan tidak akan mendapatkan pahala ibadah yang dilakukan orang lain.

DARI SAYA :
Kita tentu yaqin bahwa Rasulullah saw juga sudah membaca ayat tersebut, karena ayat tersebut disampaikan oleh Rasulullah saw kepada ummatnya lewat lisannya.

Kita juga harus yaqin bahwa Rasulullah saw  senantiasa berada di dalam bimbingan wahyu dari Allah swt , dan tidak akan pernah melawan atau mengingkari Al Qur’an dengan hawa nafsunya.

Kita juga telah yaqin bahwa hadits perempuan Khats’am serta hadits Syubrumah yang membenarkan badal haji telah shahih dari Nabi saw. 
Artinya : Nabi saw yang menyatakan demikian.

MAKA : 
Perkataan Nabi saw tentang bolehnya badal haji , tidak boleh seorangpun dari qaum Muslimin yang mengingkarinya dengan asumsi atau tuduhan bahwa hadits tersebut mengingkari Al Qur’an.

Bahkan qaum Muslimin harus yaqin bahwa hadits tentang bolehnya badal haji adalah penjelasan dari Al Qur’an itu sendiri.Karena salah satu tugas dari Nabi saw adalah menjelaskan makna Al Qur’an kepada Ummatnya.

PERBANDINGAN : 
Ada hadits shahih tentang seseorang mendapat dosa atau pahala dari amalan orang lain:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

Bersumber dari Abu Hurairah r.a , bahwasanya Rasulullah saw bersabda : Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.
Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka dia akan mendapat dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabul Ilmi bab 6 no 2674


عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم ...... فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

Bersumber dari Abu Mas’ud Al Anshari r.a dia berkata : Telah datang seorang laki laki kepada Nabi saw  ..... Maka Rasulullah saw bersabda : Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka dia mendapat pahala sebanyak pahala orang yang mengerjakannya.
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabul Imaarah bab 38 no 1893

Penjelasan :
Dua buah hadits ini menjelaskan tentang adanya “pengaruh atau dampak” amalan seseorang kepada catatan amal orang lain.

Seseorang (A) melakukan perbuatan baik , maka orang lain (B) juga mendapat pahala sebanyak pahala dari amal shalihnya (si A)

Seseorang (A) melakukan perbuatan dosa , maka orang lain (siB) mendapatkan dosa sebanyak dosa yang  didapatkan olehnya (si A).

Soal : Kelihatannya hadits ini bertentangan dengan ayat Al Qur’an surah An Najm ayat 38-39 yang menyatakan sebaliknya ?

Jawab : Hadits riwayat Muslim no 2674 dan 1893 tersebut tidak bertentangan sama sekali dengan ayat 38-39 surah An Najm. 

*Hadits tentang seseorang yang mengajarkan kebaikan akan mendapat pahala sebanyak orang yang mengikutinya , maknanya : Pahala yang didapat oleh orang tersebut adalah buah jerih payahnya sendiri. Dia sama sekali tidak mendapat pahala secara gratis dari orang lain. Dia mengajarkan , mengarahkan, dan mendorong orang lain , sudah selayaknya mendapatkan balasan dari Allah terhadap usahanya tersebut.

Mudahnya : seorang  “murid”  melakukan kebaikan karena pendapatkan pengetahuan tentang kebaikan tersebut dari “gurunya”. Jika gurunya tidak mengajarkan kebaikan tersebut kepadanya maka dia tidak mengetahui adanya kebaikan tersebut sehingga tidak akan mangamalkannya.

Allah menetapkan bahwa : balasan dari Allah adalah  pahala sebanyak amalan muridnya yang mendapatkan pengetahuan darinya. Jadi pahala yang didapat guru agama tersebut adalah hasil jerih payahnya sendiri. 

Demikian juga halnya tetang dosa : Seseorang yang mengajak orang lain kepada perbuatan dosa maka dia akan mendapat dosa sebanyak dosa yang didapat oleh orang yang mengikutinya.

Dosa yang didapat “guru” tersebut memang hasil usahanya sendiri, bukan gratis didapatkannya dari muridnya. Karena “murid” tersebut mendapat pengetahuan tentang dosa memang dari gurunya. Maka dia mengamalkan perbuatan dosa itu. Jika gurunya tidak memberitahukan tentang amalan jelek tersebut maka si murid tidak akan mengamalkannya.

Maka hadits ini sudah selaras dengan ayat tersebut serta tidak ada pertentangan apa apa.
Malah hadits tersebut menjadi penjelasan makna ayat 38-39 surah An Najm.

Soal :
Dalam surah An Najm ayat 38-39 disebutkan bahwa seseorang tdak akan mendapat pahala yang didapat orang lain. Demikian juga tentang dosa , seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.  Kalau begitu , dosa dan pahala yang mana yang dimaksud oleh ayat ini ?

Jawab :
Yang dimaksud adalah : pahala dan dosa yang mana orang lain tidak mendapatkan dari orang lain adalah : Seseorang tidak akan mendapatkan pahala atau dosa dari orang lan yang tidak ada kontribusi apapun dari dirinya.

Misalnya :
Seseorang (A)  melakukan suatu amal shalih. Maka orang lain (B) yang tidak ada kontribusi apa apa terhadap amalan orang (A) ini , tidak akan mendapatkan bagian pahalanya.

Walaupun si (A) mengatakan kepada si (B) : aku ikhlashkan pahalaku untukmu 25 %, dihadiri 2 orang saksi, kemudian tanda tangan di atas meterai , tetap saja si (B) tidak akan mendapatkan pahala yang dimiliki oleh si (A).

Demikian juga halnya dosa.
Misalnya : si (A) kasihan kepada si (B) yang banyak melakukan perbuatan dosa.
Maka si (A) berkata kepada si (B) : Aku menanggung dosamu 25 % , ikhlash karena Allah, dihadiri 2 orang saksi dan tanda tangan di atas kertas bermeterai.

Tidak akan pernah si (B) bisa memindahkan dosa tersebut kepada si (A).

Kembali kepada badal haji : Seorang anak yang membadalkan haji untuk orang tuanya adalah hasil dari jerih payah orang tuanya sendiri. Dia telah mendidik anaknya sehingga anaknya memiliki kekhawatiran terhadap keselamatan orang tuanya di akhirat kelak. Anaknya jadi tahu bahwa siksa akhirat benar benar ada. Maka dia merasa takut untuk mengalaminya serta khawatir terhadap keselamatan orang tuanya. 

Sehingga anak yang seperti ini tidak lagi mempertimbangkan kerugian duniawi yang harus ditanggungnya. Tabungan yang dikumpulkannya bertahun tahun dengan sangat mudahnya dihabiskan untuk menghajikan orang tuanya.

Atau orang tua tersebut memiliki kebaikan lainnya sehingga Allah membalasnya dengan memberi hidayah kepada anaknya atau Allah memberi hidayah kepada orang lain untuk membantu keselamatan akhiratnya.

Beda dengan anak yang tidak dididik oleh orang tuanya. Atau 

Dengan cara  memahami seperti ini maka semua dalil dari ayat Al Qur’an dan hadits Nabi saw dapat diamalkan dan didudukkan pada tempatnya masing masing serta tidak ada yang “dibuang”.

Wallahu A’lam.
Oleh : Ustadz Mubaraq Abdul Rahim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TENTANG HIJRAH MENANTI