Sabtu, 22 Oktober 2016

BACAAN DALAM SUJUD SAHWI

TIDAK DIDAPATI ADANYA HADITS YANG SHAHIH DARI NABI SAW YANG SECARA TERANG DAN TEGAS  MEMBICARAKAN BACAAN KETIKA DALAM KEADAAN SUJUD SAHWI.

Maka umat Islam berbeda amalannya di dalam masalah bacaan tersebut.

Sebagian qaum Muslimin membaca di dalam sujud sahwinya :

سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو

Maha suci Allah, Dzat yang tidak tidur dan tidak lupa.

Tentang redaksi bacaan ini, saya tidak mengetahui dari mana asal usulnya.

IMAM AL HAFIDZ IBNU HAJAR AL ‘ASQALANI BERKATA : Saya tidak mendapati asal usulnya

DARI SAYA  :  Maksud perkataan Al Hafidz  tersebut adalah : 

bacaan   سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو bukan berasal dari Nabi saw.

Lihat : Kitab Talkhiishul Habiir jilid 2 halaman 14 Kitabush Shalah bab 4 pada hadits no 480

DARI SAYA

Saya dapati redaksi سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو  dari beberapa Kitab Fiqh madz-hab Syafi’i :

1. Kitab Mughni Al Muhtaj

Tatacara sujud sahwi adalah seperti sujud dalam shalat, baik dalam hal amalan wajibnya serta amalan sunnahnya, seperti meletakkan dahi di bumi, tuma’ninah, dan duduk dengan cara iftirasy diantara 2 sujud dan duduk tawarruk setelah  2 sujud tersebut, serta membaca dzikir sujud dalam shalat di dalam 2 sujud tersebut.

Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa dianjurkan membaca pada sujud sahwi :
سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو (subhana man Laa Yanaamu walaa Yashu)

LIHAT : 

1. Kitab Mughni Al Muhtaj : Kitabush Shalah bab tentang sujud sahwi
2. Kitab Nihayatul Muhtaj : Kitabush Shalah bab tatacara sujud sahwi adalah seperti sujud dalam shalat.
3. Fiqih Ibadah Syafi’i Kitabush Shalah bab tentang sujud sahwi
4. Kitab Raudhatuth Thaalibiin Kitabush Shalah fasal tentang tatacara sujud sahwi
5. Fathul Mu’in Fashal tentang sunnah sunnah Ab’adh pada shalat serta hukum sujud sahwi.

Ketika membahas tentang bacaan dalam sujud sahwi, kitab no 2 s/5 hampir sama pembahasan dengan yang no 1, yaitu : tatacara sujud sahwi adalah sama dengan tatacara sujud dalam shalat seperti biasa, baik dari sisi kewajiban dalam sujud maupun amalan sunnahnya seperti dzikir dan lainnya. 

Hanya saja , dalam kitab kitab tersebut ada lanjutan kalimat : sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa dianjurkan membaca   سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو (subhana man Laa Yanaamu walaa Yashu) dalam sujud sahwi karena bacaan ini dinilai sesuai dengan keadaannya (yaitu sujud karena lupa).

Yang saya fahami (Wallahu A’lam) , bahwa : Dalam Kitab Kitab madz-hab Syafi’i tersebut tidak menolak tentang sunnahnya membaca subhaana Rabbiyal A’la dalam sujud sahwi , tetapi memberikan pilihan lain , artinya boleh juga membaca kalimat lainnya yaitu :
سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو (subhana man Laa Yanaamu walaa Yashu).
Alasannya : karena kalimat ini sesuai dengan keadaan yang dialami (karena lupa).

IMAM NAWAWI BERKATA :

Para  shahabat imam Syafi’i tidak menyebutkan cara cara sujud sahwi dalam kitab kitab mereka. Karena mereka menganggap bahwa tata cara sujud sahwi adalah sama dengan cara cara sujud dalam dalam shalat lainnya (dalam shalat fardhu).

Aku mendengar bahwa sebagian imam berkata , disukai agar dibaca dalam sujud sahwi :
سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو  karena yang demikian ini sesuai dengan keadaannya (karena lupa).

LIHAT : Kitab Raudhatuth Thalibin Kitabush Shalah fasal tentang tatacara sujud sahwi

DARI SAYA
Setelah memperhatikan pembahasan yang panjang ini maka :

Karena tidak didapati hadits shahih dari Nabi saw tentang bacaan tertentu dalam sujud sahwi , maka bacaan di dalam sujud sahwi menjadi tidak berdalil.

Karena tidak berdalil, maka saya mengembalikan keadaan ini kepada ashalnya, yaitu : sujud sahwi adalah bagian dari pekerjaan shalat. Maka bacaan dalam sujud sahwi adalah bacaan sujud dalam shalat.

Saya mengambil kesimpulan seperti ini karena : setiap melakukan sujud sahwi senantiasa di akhiri dengan salam. Padahal salam adalah penutup shalat. Berarti sujud sahwi masih merupakan bagian dari shalat tersebut.

عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ عَنْ عَلِىٍّ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا الْحَدِيثُ أَصَحُّ شَىْءٍ فِى هَذَا الْبَابِ وَأَحْسَنُ
قال الشيخ الألباني : حسن صحيح
تعليق شعيب الأرنؤوط : صحيح لغيره وإسناده حسن

Bersumber dari Muhammad bin Al Hanafiyah dari Ali r.a dia berkata : Rasulullah saw bersabda : Kunci shalat adalah wudhu’ dan yang mengharamkannya adalah takbir dan yang menghalalkannya adalah salam.
Hadits riwayat Abu Dawud Kitabuth Thaharah bab 31 no 61 (ini adalah lafadznya)
Tirmidzi Kitabuth Thaharah bab 3 no 3
Ibnu Majah Kitabuth Thaharah bab 3 no 275
Ahmad 1/123 no 1009

Penilaian beberapa ulama :

Imam Tirmidzi : derajatnya hasan.
Imam Nawawi : sanadnya hasan,  hanya saja  di dalam sanadnya ada rawi Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil ... (yang pikun ketika sudah tua).
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani : sanadnya shahih.
Syaikh Al Albani : sanadnya hasan , tapi derajatnya shahih
Syaikh Al Arnauth : derajatnya shahih lighairihi dengan sanad yang hasan.

LIHAT : Kitab Irwaa-ul Ghaliil jilid 2 halaman 9 pada hadits no 301

PENJELASAN
Kalimat “kunci shalat adalah bersuci” maknanya : adalah kata kiasan yang mengandung hukum bahwa hadats ( keadaan tidak berwudhu) adalah perkara yang menghalangi shalat.
Hadats seolah seperti gembok yang terpasang pada orang yang berhadats. Jika dia berwudhu maka terbukalah gembok tersebut sehingga dia dapat mengerjakan shalat.

Dengan bahasa yang sederhana, untuk “masuk” ke dalam shalat diperlukan “wudhu/mandi” sehingga bersuci (wudhu atau mandi) disebut dengan “kunci” , yaitu alat yang dipakai untuk membuka pintu sehingga seseorang dapat masuk ke dalamnya.

Maka seseorang yang berada dalam keadaan berhadats (keadaan tidak berwudhu) tidak dapat masuk ke dalam pekerjaan shalat sehingga dia membuka “pintu” nya yaitu dengan menggunakan kunci yang namanya bersuci (wudhu atau mandi).

Kalimat “ yang mengharamkannya adalah takbir” maknanya : takbiratul ihram (takbir pembuka shalat).

Takbiratul ihram membuat perkara perkara yang sebelumnya halal menjadi haram. Maksudnya takbiratul ihram menjadikan semua perkara yang halal dilakukan di luar shalat menjadi haram dilakukan di dalam shalat. Misalnya : makan , minum , berbicara dll. Yang halal dan boleh dilakukan di dalam shalat, hanya pekerjaan shalat saja , selain itu dilarang untuk dilakukan.

Kalimat “yang menghalalkannya adalah salam” maksudnya : salam  membuat perkara yang sebelumnya haram dilakukan di dalam shalat menjadi halal kembali, karena setelah salam seseorang sudah dinyatakan keluar dari shalat.

Yang dimaksud adalah : ada beberapa perkara yang ashalnya halal, hukumnya berubah menjadi haram dilakukan di dalam shalat. Pelarangan ini batasnya sampai sebelum salam. Jika  seseorang yang mengerjakan shalat mengucapkan salam, maka perkara perkara tersebut menjadi halal untuk dilakukan lagi.

Misalnya : makan , minum , berbicara dll.

Lihat : Kitab ‘Aunul Ma’buud , Syarah terhadap Kitab Sunan Abi Dawud jilid 1 halaman 60 Kitabuth Thaharah bab 31 no 61

DARI SAYA
Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa apapun yang dilakukan dalam shalat sebelum salam, dianggap masih merupakan bagian dari pekerjaan shalat tersebut.

Dikuatkan dengan riwayat dari Aisyah r.a :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةَ بِ (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يُشْخِصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلِكَنْ بَيْنَ ذَلِكَ وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ قَائِمًا وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ جَالِسًا وَكَانَ يَقُولُ فِى كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى وَكَانَ يَنْهَى عَنْ عُقْبَةِ الشَّيْطَانِ وَيَنْهَى أَنْ يَفْتَرِشَ الرَّجُلُ ذِرَاعَيْهِ افْتِرَاشَ السَّبُعِ وَكَانَ يَخْتِمُ الصَّلاَةَ بِالتَّسْلِيمِ

Bersumber dari Aisyah r.a  dia berkata : Bahwasanya Rasulullah saw memulai shalatnya dengan takbir dan memulai bacaannya dengan Alhamdulillahi Rabbil Alamin.
Apabila beliau saw ruku’ maka dilakukannya dengan tidak terlalu mengangkat kepalanya dan tidak terlalu menundukkannya, akan tetapi dilakukannya diantara kedua hal itu.
Apabila mengangkat kepalanya dari ruku’ , maka beliau saw tidak bergerak untuk sujud sehingga benar benar telah berdiri (dengan sempurna).
Apabila mengangkat kepalanya dari sujud , beliau saw tidak melakukan sujud (lagi) sehingga beliau saw benar benar telah duduk dengan sempurna.
Dan setiap 2 raka’at beliau saw membaca At Tahiyyat.
Dan beliau saw membentangkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy). 
Dan beliau saw melarang duduk dengan cara seperti uqbah asy syaithan.
Dan beliau saw melarang seseorang untuk menghamparkan hastanya di bumi seperti yang dilakukan oleh binatang buas
Dan Nabi saw menutup shalatnya dengan salam.
Hadits shahih riwayat Muslim Kitabush Shalah bab 46 no 498
Abu Dawud Kitabush Shalah bab 124 no 783
Ahmad 6/31 no 23510

PENJELASAN
Kalimat “uqbah syaithan” maknanya adalah : duduk dengan cara menempelkan pantat ke bumi dengan kedua tangannya menempel ke tanah, serta menegakkan kedua betisnya . Cara seperti ini mirip dengan duduknya anjing atau binatang buas lainnya.
Inilah cara duduk iq’aa’ yang dilarang.

LIHAT : Kitab Syarah Muslim oleh imam Nawawi jilid 4 halaman 436 Kitabush Shalah bab 46 no 498) 

DARI SAYA
Dari hadits ini disimpulkan bahwa salam adalah akhir dari kegiatan shalat, Karena sujud sahwi senantiasa di tutup dengan salam , maka sujud sahwi adalah bagian dari shalat tersebut, sehingga bacaannya dikembalikan kepada bacaan sujud dalam shalat tersebut , yaitu Subhana Rabbiyal A’laa.


KESIMPULAN

YANG SAYA PILIH
Karena sujud sahwi adalah bagian dari shalat , sedangkan dalil yang mengkhususkan bacaannya tidak ada , maka bacaan sujud sahwi harus dikembalikan kepada ashalnya , yaitu sama dengan bacaan sujud dalam shalat : Subhana Rabbiyal A’laa 
Boleh juga membaca bacaan sujud lainnya yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

Wallahu A’lam.
Oleh : Ustadz Mubarak Abdul Rahim

2 komentar:

TENTANG HIJRAH MENANTI